SOMBONG
Nggak ada manusia yang demen sama orang sombong, termasuk orang sombong sendiri. Sebisa mungkin kita semua ngejauhin orang sombong supaya dia (si sombong) tau rasa kalo superior itu emang nggak disukai.
Mungkin kita semua udah pernah ngerasain gimana sih orang sombong itu—menurut pribadi kita kalau sombong itu ya kayak gitu. Pernah juga nggak deket-deket sama si sombong. Dan—kalau kita punya nyali—berusaha untuk nyadarin dia dari kesombongan dan superioritasnya. Sebisa mungkin ngasih nasehat kalau sombong itu nggak baik. Bisa dijauhin temen lah, dikucilkan dari pergaulan lah, dimusuhin bla…bla…bla…
Pertanyaannya sekarang, gimana kalau temen-temen di sekitar kita ngasih cap “sombong” sama kita padahal kita nggak pernah ngerasa sombong? Atau minimalnya, kita ngerasa kalau kita nggak pernah macem-macem yang mendatangkan cap sombong bagi diri kita.
Hal ini terjadi sama gue. Entahlah, gue juga kaget ngedenger hal ini. Baru kali ini ada manusia yang bilang dengan sangat berterus terang sama gue kalau gue emang manusia sombong. Sombong banget.
Dan kalian harus tahu siapa manusia yang bilang gue sombong sekali. Manusia ini adalah senior gue di kampus. Terus banyak banget yang bilang. Nggak cuma satu orang. Tapi kebanyakan senior. Temen satu kelas gue nggak ada yang bilang.
Mungkin cap sombong gue dapet gara-gara banyak ngritik sistem ospek universitas. Gue vokal banget menyuarakan ospek tuh ortodoks, harus ada sesuatu yang baru dan diperbaharui dalam ospek dan tim pembaharu yang banci—gue nantangin mereka buat man to man aja kalau ada maba yang bikin kesalahan, bukan maen keroyokan sambil bentak-bentak. Banci banget, kan?
Gue langsung bilangin hal ini ke panitia. Tanpa perantara tertulis sekalipun. Maksud gue nggak sombong. Karena hal ini juga berdasarkan aspirasi temen-temen gue yang takut buat bilang ke panitia. Daripada dipendem terus dalam hati, mending gue keluarin aja.
Ketika panitia ngewajibin semua maba yang ikutan ospek supaya celana panjangnya dimasukkin aja ke kaos kaki—persis kayak dandanan zaman Napoleon dulu yang celananya nggak sampe mata kaki, tapi Cuma selutut aja karena dimasukkin ke kaos kaki—gue langsung berontak dan dengan sangat lantang bilang, ”kang itu kayak orang gila!!!”. Dengan tanpa berdosa gue bilang kayak gitu. Gue pikir itu cuma akal-akalan panitia aja. Apakah nggak ada dandanan yang lebih manusiawi? Gue mikir kayak gitu. Sebenernya masih banyak lagi instruksi dari panitia yang kerasa janggal banget. Walaupun ini ospek, gue nggak mau harkat dan martabat gue sebagai manusia diinjek-injek.
Selama ospek berlangsung, gue sih fun-fun aja. Gue nggak ambil pusing sama sikap gue. Selama gue punya argumen yang logis, selama itulah sikap gue.
Pernah pas materi tentang motivasi, gue bersila di atas kursi. Bukan apa-apa, gue ngerasa pegel. Makanya gue suka rubah-rubah posisi. Setelah beberapa saat, datang panitia dan negur gue kalau hal itu nggak sopan. Gue langsung turunin kaki dan bersikap seperti mahasiswa lainnya.
Ketika materi tentang ekonomi syariah, gue suntuk banget. Gue punya ide. Gue minta permen karet ke temen cewek. Akhirnya gue kunyah tuh permen karet sampe materi beres. Sekali lagi bukan maksud sombong, gue cuma pengen lebih konsentrasi aja. Karena toh dengan mengunyah permen karet otak kita jadi lebih terangsang untuk berpikir. Tapi, tetep aja ada temen gue yang bilang kalau hal itu nggak sopan. Hmmm...aneh juga ya. Kadang bukti penelitian ilmiah belum tentu bisa diterima oleh norma dan perilaku.
Puncak dari semua itu adalah ketika jurit malam. Semua dibangunin jam satu malem sambil dibentak-bentak nggak karuan. Semua maba dikumpulin di aula. Hal ini terjadi karena panitia denger isu kalo ada maba yang bilang ospek itu basi. Mereka juga nyari maba yang nantangin pembaharu buat man to man.Gue deg-degan banget. Karena semua yang diomongin panitia semuanya ngarah ke gue. Dengan sangat terpaksa, gue maju dan mengklarifikasi perkataan gue di hadapan mereka. Tapi yang namanya pembaharu emang suka cari masalah. Mereka terus-terusan nyudutin gue. Dan akhirnya gue diseret ke luar terus mata gue ditutup pake syal. Badan gue diputer-puter kayak kolecer. Terus gue ditempatin di suatu tempat—gak tau dimana—sambil diinterogasi. Di sinilah drama yang paling menyakitkan hati. Di sinilah senior gue ngungkapin perasaannya selama ini. Perasaan yang nggak bisa ditawar-tawar lagi. Perasaan yang membuncah.
”Sebenernya saya respect sama kamu. Kamu berani, argumen kamu logis, aktif dan selalu punya cara pandang tersendiri. Tapi sayang, kamu itu sombong. Jadi, saya harap kamu bisa merubah akhlak kamu.”
SOMBONG. Dalam benak mereka, itulah representasi gue. Gue sempet kaget denger hal ini. Aneh banget. Apa orang yang berbeda dengan orang lain itu sombong? Apakah ketika orang mencoba untuk unjuk gigi dan menunjukkan kemampuan apa yang mereka miliki, pantaskah disebut sombong? Apakah sopan itu identik dengan selalu diam dan bersikap seperti layaknya kebanyakan sikap manusia lainnya yang tidak mempunyai tujuan? Lalu, apa perbedaan antara orang sombong dan orang yang punya cara pandang berbeda dalam memandang satu masalah?
Aku pikir mereka belum bisa ngebedain dua hal itu. Asumsiku seperti itu. Tapi, semoga saja aku salah.
Aku sadar bahwa dibalik muka-muka ramah mereka, terdapat juga sifat paling pengecut se-dunia. Mereka bilang sombong sama gue, tapi mereka nggak mau nunjukkin siapa diri mereka. Ya, karena mata gue ditutup sama syal. Gue cuma bisa denger suara mereka. Kenapa ya kebanyakan orang takut untuk berkata Jujur di hadapan orang lain? Jika pun tidak secara langsung, mereka ungkapkan lewat tulisan sambil diperhalus. Kenapa nggak langsung aja?
Walaupun capek, gue tetep berusaha survive di tengah caci-maki panitia. Ada satu peristiwa yang konyol banget buat diinget. Pas gue adu argumen sama si kang Agung tentang kebebasan mahasiswa, dia tanya sama gue, “Kalau kamu pengen bebas kayak mahasiswa fikom Untad, kenapa nggak masuk Unpad aja? Kenapa ke Unisba?”. Tiba-tiba ada panitia cewek yang bilang, “Alaaah, anak kayak gini paling-paling SPMB-nya nggak lulus”. Denger kayak gini, gue nggak tarima. Gue berontak! Langsung aja gue ladenin tuh panitia. “Maaf, saya termasuk golongan lulus SPMB. Saya keterima di Unpad. Tapi karena berbagai faktor saya lebih memilih Unisba daripada Unpad”. FYI, gue ngomongin ini dengan suara keras. Gue pengen nunjukkin ke semua maba kalau gue emang lulus SPMB. Terserah deh disebut sombong juga. Karena yang lebih pantas disebut g*bl*k adalah si panitia cewek tadi yang berusaha nurunin harga diri gue di depan semua maba.
Ngedenger fakta kalo gue lulus SPMB, si panitia cewek langsung diem. Dia nggak berani lagi berurusan sama gue. Dia berusaha untuk nutupin mukanya yang udah terlanjur malu. Kalo dalam istilah sepak bola sih disebut counter attack.
3 comments:
Huw huw seperti biasa. selalu penuh emosi dan penuh dengan 'gue'.
kalo kamu kamu ingin menang, lebih baik kalahkan mereka dengan cara disukai dulu oleh mereka.
jangan lupa, Rosul sudah mendefinisikan kata sombong (al-kibru): bathorul haq wa ghamtun nas (menolak kebenaran dan memaki manusia) siapa diantara kau dan mereka yang demikian?
NB: anak UNISBA seharusnya tahu itu.. hehehe.. btw kamu bener lulus ke Unpad? lupa lagi.. kenapa ga diambil?
Jar, memang bener kalo yang namanya sombong itu adalah: bathoril haq wa ghamti nas. Saya juga nyadar. Cuma, saya lagi karareseul sama panitia. Itu salah satunya.
Post a Comment