SURAT DARI SABUN
Oleh : M Zakky R
Usiaku kini hampir satu minggu di kamar mandi keluarga besar Hartakusuma. Mungkin, beberapa hari lagi aku akan mati—sebut saja lenyap. Nah, sebelum aku lenyap begitu saja, aku ingin hidupku seakan berarti bagi siapapun. Jadi, dengan bangga aku menulis pengalaman hidupku dalam bentuk surat dan terima kasih bagi kalian yang membacanya.
Rasanya senang juga menjalani hidup sepertiku. Bisa keliling dari mal yang satu ke mal yang lain. Dari supermarket yang satu ke supermarket yang lain. Bisa keliling dari warung yang ada di Dago ke warung yang ada di Antapani. Setelah itu, tibalah aku di tempat persinggahanku yang terakhir yaitu kamar mandi. Di sinilah tempat paling mengasyikkan—menurutku—yang pernah ada di dunia ini. Selain bisa berkenalan dengan berbagai macam produk lain serta mendengarkan pengalaman mereka, aku juga bisa menikmati ”pemandangan” indah yang tak akan pernah kalian saksikan sebelumnya kecuali jika kalian telah benar-benar dewasa dan siap menjalani pernikahan. Pokoknya, kalian jangan iri terhadapku, ya.
Tidak. Aku tidak akan menceritakan kisah yang berbau pornoaksi dan pornografi. Tidak juga kisah yang berbau—maaf—cabul. Aku takut terkena sanksi walaupun sampai saat ini RUU APP masih menjadi pro-kontra. Sudahlah, masalah ”pemandangan” ini tidak usah dibahas terlalu panjang. Aku takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan hingga akhirnya koran X memuat berita tentang pemerkosaan terhadap siswi A oleh siswa B. Aku takut disalahkan, padahal yang berbuat adalah oknum dari manusia itu sendiri.
Menurut beberapa ”seniorku” yang telah cukup lama berada di kamar mandi keluarga Hartakusuma, dulu kamar mandi ini tidaklah sebagus sekarang. Namun setelah pak Hartakusuma sukses dengan bisnisnya, maka disulapnya rumah ini menjadi istana. Termasuk kamar mandi ini, tidak ketinggalan dengan berbagai produk untuk kamar mandi. Dari mulai sabun mandi produk lokal hingga pembersih muka buatan Eropa. Sebenarnya telah terjadi akulturasi budaya di kamar mandi ini. Sedikit demi sedikit aku mulai belajar bahasa inggris pada produk pembersih muka XX yang memang asli dibuat di Eropa. Begitupun sebaliknya. Ah, senang sekali rasanya bisa belajar bahasa inggris langsung dari sumbernya. Gratis pula.
Ssstt...jangan berisik. Nyonya Hartakusuma masuk kamar mandi. Apa yang akan dia lakukan kali ini? Oh, ternyata dia ingin membersihkan wajahnya dengan gel pembersih yang diimport langsung dari negeri tirai bambu, Cina. Ternyata jika nyonya Hartakusuma tidak pakai make up, dia kelihatan sedikit lebih tua dan wajahnya penuh dengan jerawat. Dalam hati aku bertanya, ”Kenapa dengan memakai kosmetik-kosmetik yang ada wajah nyonya menjadi seperti itu? Bukankah fungsi dari kosmetik tersebut untuk menghaluskan, melembutkan dan membuat wajah jadi lebih kencang?”.
Belum sempat aku selesai dengan berbagai pertanyaan, sang nyonya mengambil botol lain yang isinya aku pun tak tahu. Dia menumpahkan cairan yang ada di dalamnya dan mengusapkan cairan tersebut ke wajahnya. Dan oh...tidak! Wajah nyonya menjadi lebih aneh lagi! Kali ini disertai dengan bercak kemerahan yang menghiasi pipi kiri dan kanan nyonya.
Sebenarnya, aku sudah terbiasa dengan hal itu. Namun ketika pertama kali melihat ”adegan” seperti itu, aku kaget setengah mati. Sungguh. Bisa kalian bayangkan perubahan wujud yang begitu drastis dari seorang ibu peri menjadi ibu buruk rupa.
Lain sang Nyonya, lain pula anaknya. Leila, anak pertama sang nyonya adalah wanita yang lebih mementingkan untuk menjaga kebersihan kulitnya. Bagaimanapun ia akan mengusahakan supaya kulitnya terlihat lembut, tidak kusam, bersinar dan tentunya putih, seputih kapas. Kosmetik dari berbagai merek ternama selalu menjadi pilihan utama Leila. Dia tidak mau ambil resiko. Namun sayangnya, hingga saat ini kulit Leila masih belum juga terlihat putih. Justru dengan berbagai kosmetik yang ia beli, kulit sawo matangnya semakin terlihat jelas. Mungkin ini yang disebut penmpakan.
Beberapa hari di sini aku sempat frustasi melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan janji manis iklan di TV. Produk XXX bisa membuat kulit putih selama beberapa hari. Produk G bisa membuat kulit halus dalam tiga kali pemakaian. Dan seabreg janji manis iklan di TV. Tapi ternyata yang kutemukan adalah hal-hal paradoks.
Akhirnya, aku mengadukan hal ini kepada ”senior” yang lebih berpengalaman. Ia adalah sebuah cermin berbentuk bulat yang senantiasa dipakai oleh keluarga Hartakusuma dari semenjak kamar mandi ini diperbaharui. Usianya memang bisa dikatakan tua.
Dengan bijak, ia tidak serta-merta men-judge apakah hal yang dilakukan sang nyonya dan anaknya salah atau benar. Ia membawaku pada satu kesimpulan bahwa pada dasarnya setiap wanita ingin terlihat cantik. Namun, dalam kenyataannya, media yang kita gunakan sekarang tidak hanya sekedar menuntut setiap wanita untuk tampil sekedar cantik. Tetapi lebih. Salah satunya adalah putih. Ya, kulit putih adalah representasi wanita yang berpikiran maju, merdeka dan mandiri. Dengan kata lain, cantik belum tentu putih. Begitu pula sebaliknya.
Sebenarnya, produk-produk yang ada di kamar mandi ini belum tentu semuanya aman. Masih ada beberapa kosmetik yang mengandung bahan-bahan berbahaya seperti mercury dan lain sebagainya. Adapun embel-embel iklan yang menawarkan bahwa produk A mengandung bahan alami, produk B bebas dari bahan-bahan berbahaya dan iklan lainnya sebenarnya perlu diselidiki lebih lanjut.
Dalam hal ini, produsen cenderung ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya terhadap sikap konsumerisme publik—terutama kaum Hawa. Dengan representasi terhadap wanita yang semakin hari semakin menuntut mereka untuk tampil cantik, putih dan kulit halus otomatis keperluan untuk tampil ”sempurna” sebagai seorang wanita semakin meningkat. Di sinilah letak ketidakberesan itu. Bukan berarti tidak boleh mempergunakan kosmetik. Silakan saja. Bukankah itu adalah hak setiap orang terutama wanita? Hanya saja jika sudah terjebak pada sikap konsumerisme, ini yang perlu dihindari.
Ya, aku sadar sekarang. Aku tidak berhak melarang sang nyonya dan anaknya untuk berhenti memakai kosmetik-kosmetik yang mereka beli. Aku hanya sebuah sabun yang lemah dan tak bisa berbuat apa-apa. Sebentar lagi aku akan lenyap. Tapi tolong aku. Tolong aku untuk menolong nyonya dan Leila supaya mereka sadar akan sikap konsumerisme mereka.
Kawan, jika kalian tahu dan tidak mau memberitahukannya, kasihan nyonya dan Leila. Jika mereka terjebak lebih jauh aku takut mereka akan mengalami resiko yang tidak diinginkan. Jadi, cepatlah beritahu nyonya dan Leila. Setelah itu sampaikan pada ibu atau kakak perempuanmu. Atau pada teman laki-laki yang berdandan feminin. Jika sudah, coba kau lihat dirimu. Siapa tahu kau termasuk ke dalam orang yang harus kuberitahu.
Bandung, 13 Desember 2006
Ketika iklan LUX dan GIV diputar
Tulisan ini memenangkan penghargaan lomba penulisan surat KMJ (Komunitas Mahasiswa Jurnalistik) UNISBA sebagai surat terfavorit. Perlu diingat, hampir semua orang tidak percaya anak Syariah bisa memenangkan penghargaan prestisius ini. Dan beberapa seniorku berkata, "Zak, kamu telah mengalahkan mitos anak-anak jurnalistik. Selamat!!!".
1 comment:
http://www.campaignforrealbeauty.com/flat4.asp?id=6909
Post a Comment