Saturday, September 22, 2007

MATA SEMBAB SANG PRESIDEN


Untuk Bapak Presiden
Di
Tempat


Sebelumnya, saya sebagai rakyat biasa, ingin memohon maaf jika judul di atas tidak berkenan di telingan Pak Presiden. Saya juga sadar sesadar-sadarnya judul di atas tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan sebagaimana tertulis di dalam Pembukaan UUD 1945. Saya sadar betul itu.
Satu hal mengapa saya lebih memilih judul ini dan menyingkirkan alternatif judul yang lain, karena Pak Presiden sulit untuk dihubungi oleh rakyatnya. Saya lihat di TV dan media kalau korban Lumpur Lapindo menangis karena tuntutannya belum juga dipenuhi. Pak Presiden tidak mendengar bagaimana kemarahan bangsa kita terhadap Malaysia baru-baru ini. Bapak juga seolah bungkam dengan panderitaan para TKI kita yang dikirim ke luar negeri dalam bentuk utuh dan kemabli dalam bentuk tak utuh, bahkan meregang nyawa.
Sebenarnya, saya sendiri bosan setiap hari mendengar kasus kekerasan terhadap TKI. Tapi, apa daya. Saya tak bisa berbuat banyak. Kadang saya selalu menyalahkan pemerintah. Saya maki-maki kabinet ini sesuka saya berharap kuping Pak Presiden merah dan hati Bapak tidak tenang. Namun tampaknya bapak tidak pernah merasa marah dengan makian saya. Bapak tak pernah mendengar dengan jelas teriakan saya. Bapak hanya melihat sekilas untuk kemudian mengalihkan pandang pada hal lain yang belum jelas pula.
Melihat reaksi Bapak seperti itu, terus terang saya kecewa. Padahal, jika saya bandingkan dengan pemimpin lain semisal Umar bin Khottob yang rela berkeliling di tengah malam hanya untuk memastikan apakah semua rakyatnya telah makan atau belum, jelas Bapak bukanlah harapan terbaik saya. Kenapa saya bandingkan Bapak dengan Umar? Karena saya ingin membuka kesadaran Bapak. Saya ingin menyadarkan diri Bapak tentang arti mata sembab.
Begini, sebagai public figure di Indonesia, Bapak selalu muncul di pemberitaan televisi. Berbagai undangan mesti Bapak hadiri setiap harinya, peresmian ini-itu harus didatangi, dan bolak-balik dari satu daerah ke daerah lainnya. Tentunya hal itu sangat menguras fisik dan mental Bapak sebagai seorang Presiden.
Saya pernah mendengar juru bicara kepresidenan (kalau tidak salah Bung Andi Malarangeng yang agak sedikit cengeng) berkata dalam sebuah wawancara. Dia berkata kira-kira seperti ini, ”Sudahlah, jangan terus memperburuk keadaan. Lihatlah Pak Presiden. Matanya sembab karena tak bisa tidur memikirkan negara.”
Benar sekali. Mata Pak Presiden memang sembab. Itu terlihat dari besarnya kantung mata yang selalu Pak Presiden bawa di setiap kesempatan acara. Dilihat dari ekspresinya, saya pikir memang benar Pak Presiden kurang tidur—atau memang tidak tidur sama sekali. Saya ikut prihatin, citra Bapak di depan publik seikit ’terganjal’ oleh kantung mata besar.
Menanggapi pernyataan Andi Malarangeng yang selalu saja sensitif terhadap kritik (saya pikir dia lagi dapet), hal itu wajar di negara demokrasi seperti Indonesia. Apalagi dengan kondisi yang tidak menentu seperti sekarang ini, sangat memungkinkan berbagai kritik tajam tertuju pada pemerintah. Jika memang Bung Andi tidak tahan kritik, kenapa pula harus jadi penasehat Presiden? Perlu diingat, menjadi penasehat Presiden tidak lebih mudah daripada mengurus kumis Anda!
Kembali pada kasus mata sembab. Saya ingin bertanya pada Pak Presiden. Apa arti mata sembab bagi Bapak? Karena kurang tidurkah memikirkan negara? Lelah karena baru saja bepergian dari satu tempat ke tempat lain? Atau hanya sekedar penanda saja demi menjaga citra dan berharap rakyat yang melihat seperti saya berkesimpulan bahwa tugas Bapak memang berat sehingga saya menyangka Bapak kurang tidur. Jika memang alasan ketiga yang diambil, Bapak telah melakukan blunder. Karena artis-artis saja yang syuting dari pagi hingga pagi berikutnya menjelang tetap terlihat cantik dan ganteng, tidak berkantung mata seperti Bapak.
Umar, dengan kekuasaan yang dimilikinya, rela berkeliling di tengah malam hanya untuk memastikan rakyatnya telah makan—dalam hal ini kita artikan saja dengan menjalani hari dengan baik. Ketika dia berkeliling, terdengar suara tangisan anak kecil. Dan apa yang Umar saksikan? Ada seorang ibu yang sedang memasak batu ditemani anaknya yang manangis. Ternyata mereka berdua belum makan. Entah kenapa ibunya merebus batu. Mungkin untuk menghibur anaknya bahwa dia (pura-puranya) sedang memasak makanan enak karena tak ada lagi makanan yang mesti dimasak.
Umar miris hatinya. Dia tak menyangka masih ada warganya hidup memprihatinkan. Maka dari itu, dibantu oleh asistennya Umar kembali ke rumah dan membawa sekarung besar bahan makanan untuk kemudian memberikannya pada ibu dan anak yang menderita tadi.
Bukan maksud saya memberikan cap baik pada Umar—karena Umar memang adil ti baheula oge—dan meremehkan Pak Presiden. Bukan itu. Saya hanya ingin mempertanyakan arti mata sembab Bapak selama ini. Setelah itu, Bapak harus mempertanggungjawabkan mata sembab Bapak di hadapan kami.
Jika memang mata sembab Bapak menandakan kepedulian dan kepekaan Bapak terhadap masyarakat, tentunya ada realisasi yang terwujud dari mata sembab Bapak. Buat apa mata sembab jika tidak mewujudkan sesuatu?
Jadi begini, kegelisahan dan keresahan Bapak menyebabkan insomnia. Berbagai masalah terus muncul seolah tak mau berhenti. Dalam malam gelap, Bapak tak bisa tidur karena terus memikirkannya. Satu yang harus dicatat, permasalahan tidak untuk dipikirkan. Permasalahan adalah untuk diselesaikan. Sesuai dengan definisi masalah—sesuatu yang harus diselesaikan.
Seharusnya, waktu terjaga Bapak akibat insomnia dimanfaatkan betul untuk mencari solusi demi kepentingan masyarakat untuk kemudian diwujudkan dalam bentuk real kehidupan. Saya tidak memaksa Bapak untuk menyamar dan turun ke jalan sebagaimana dilakukan oleh Umar bin Khottob. Saya pikir itu terlalu berat bagi Bapak. Saya hanya meminta Bapak bersama-sama ’orang pintar’ di pemerintahan mencarikan solusi yang memihak pada rakyat banyak. Itu saja. Karena saya pikir percuma mata Bapak sembab jika tak menghasilkan keberpihakan pada rakyat banyak.
Lupakanlah dahulu citra Bapak di depan masyarakat. Lupakanlah kegantengan Bapak yang sempat digembar-gemborkan media sewaktu berkampanye—walau saya tahu ganteng itu relatif. Lupakan kepentingan partai. Lupakan semuanya.
Lihatlah, negara kita telah sudah hampir sempurna kehancurannya. Berbagai permasalahan selalu saja datang setiap harinya dan tak kunjung selesai. Derita penduduk Indonesia di negerinya sendiri. Derita TKI di luar negeri karena kegiata ’ekspor’ manusia, citra buruk negeri kita di luar negeri, kasus freeport, kasus Munir, kasus teroris, dan kasus-kasus lainnya. Saya tak mau menceritakannya di sini. Terlalu ngeri untuk diceritakan. Terlalu menyedihkan untuk didengar. Terlalu memalukan untuk dijadikan memoar bangsa.
Sampai kapan negeri ini akan terus begini? Sampai saya mati? Sampai Amerika tumbang? Sampai kiamat menjelang? Sampai kapan?
Di sebuah daerah nun jauh di sana, ternyata masih ada rakyat yang mengharapkan pemerintahan ini kembali saja ke rezim orde baru. Menurut mereka, rezim orba (orde baru) cenderung lebih stabil, harga-harga terjangkau, tidak ada demo, stabilitas politik berjalan mulus, dan lain sebagainya. Setidaknya, ini menandakan bahwa mereka butuh keamanan dan kesejahteraraan serta perlindungan dari pemerintah. Sebagai rakyat, mereka berharap kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintah memihak rakyat banyak. Namun dalam kenyataannya, tidak melulu seperti itu. Rakyat tinggalah rakyat. Pemerintah yang berkuasa. Keduanya seolah berjauhan dan tak saling kenal satu sama lain.
Pak, ada baiknya Bapak tidur lebih dini dan tak usah tidur larut malam hanya karena memikirkan negara. Saya pikir percuma jika sekedar dipikirkan. Tak ada sesuatu yang terwujud jika tidak direalisasikan ke dalam bentuk nyata.
Mengapa saya menyuruh Bapak untuk tidur lebih cepat? Jawabnya adalah kantung mata Bapak. Saya sangat mengkhawatirkan kantung mata Bapak. Saya berharap kantung mata tersebut segera mengecil. Jika dibiarkan terus membesar, saya takut Bapak tidak bisa melihat secara utuh keadaan bangsa dan negara ini. Saya takut penglihatan Bapak terhalang. Dan itu memudahkan orang-orang terdekat Bapak semakin menjauhkan pemerintah dengan rakyatnya. Akhirnya, kalangan pemerintahan bisa bertindak sesukanya termasuk korupsi. Sedangkan rakyat hanya bisa gigit jari.
Pak, perlu diketahui, sejauh yang saya rasakan penderitaan bangsa berbanding lurus dengan besarnya kantung mata Bapak.

Globalizacktion
When i was young, this country felt too old

No comments: