Oleh: M Zakky R
Indonesia adalah negara yang kaya. Tanahnya subur, hutannya banyak, hasil lautnya melimpah. Itu baru dari sumber daya alam hayati. Lalu bagaimana dengan sumber daya alam lainnya? Jangan pernah tanyakan hal itu. Semua orang sudah mengetahui kalau Indonesia adalah surganya sumber daya alam. Maka tak heran banyak orang asing melirik negeri ini. Entah itu hanya sekedar investasi atau bahkan intervensi. Apakah Indonesia sekarang ini masih kaya? Tentu saja. Indonesia sekarang tetap menjadi negara yang kaya, subur dan makmur. Ya, kaya dengan para koruptornya, subur dengan praktek korupsi dan makmur bagi sebagian kalangan yang berduit saja.
Diakui atau tidak, demikianlah kenyataannya. Negara ini memang salah satu lahan tersubur untuk korupsi. Hampir semua instansi baik pemerintah maupun swasta ”akrab” dengan korupsi. Namun, bukan berarti saya ingin menjelek-jelekan negara ini—negara saya. Tidak sama sekali. Sebagai orang Indonesia, saya hanya ingin negara ini ”bersih” dari praktek korupsi. Walaupun rasanya sulit.
Beberapa hari yang lalu, saya mendengar kasus pencabulan terhadap bocah perempuan tingkat SD. Pelakunya tak lain adalah seorang siswa tingkat SMP. Akibat kejadian itu, si bocah mengalami trauma hebat dan beban mental. Sedangkan si pelaku dimasukkan ke dalam penjara setelah babak belur dihajar warga. Perlu diingat, kejadian seperti ini sering kita lihat di TV. Namun, sepertinya ada yang ganjil. Bagaimana mungkin seorang siswa SMP melakukannya? Sedangkan materi pelajaran biologi belum sampai sejauh itu. Bahkan guru biologi juga belum pernah mengadakan (maaf) praktek hubungan intim sesama siswa. Sungguh aneh.
Sama halnya dengan korupsi. Tidak ada satu sekolah pun di negara ini yang memberikan mata pelajaran korupsi. Justru banyak dari bidang studi yang kita pelajari malah menentang keras terhadap korupsi. Tapi mengapa produk-produk sekolah yang dihasilkan justru sangat ahli di bidang korupsi? Kontras sekali dengan buku PPKN yang mengharuskan kepada setiap pelajar agar menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran.
Perlu diingat juga bahwa para koruptor yang telah terbukti bersalah adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan tinggi. Dengan kata lain, mereka tahu mana baik dan mana buruk. Atau, kalaupun tidak, minimalnya ia seorang pejabat. Atau bahkan ia merangkap sebagai orang berpendidikan tinggi sekaligus pejabat. Sehingga mudah untuk memanfaatkan berbagai fasilitas serta menyalahgunakan kekuasaan publik yang diwakilkan kepadanya. Hal ini benar dan memang terbukti.
Jika melihat fakta seperti ini, apakah harus dibuat semacam kurikulum pendidikan antikorupsi? Perlukah sekolah-sekolah menambah bidang studi yaitu mata pelajaran antikorupsi? Saya pikir tidak usah. Bahkan tidak perlu sama sekali.
Ketika bangsa ini khawatir akan pengaruh pergaulan bebas dan maraknya prostitusi, muncul satu solusi bernama sex education atau pendidikan sex. Berisi informasi dan penjelasan yang benar seputar masalah sex. Namun banyak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan apa sebenarnya sex education itu. Sama halnya dengan urusan korupsi. Untuk masalah korupsi, bangsa ini memang bangsa korup. Namun tidak seharusnya hal semacam ini dimasukkan ke dalam kurikulum pendidikan kita. Karena sebenarnya beberapa mata pelajaran di sekolah pun telah mengajarkan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan lain sebagainya. Secara otomatis, para pelajar tentu telah bisa memilih mana yang baik dan mana yang buruk, termasuk dalam urusan korupsi.
Selain itu, sistem UAN—Ujian Akhir Nasional—yang cenderung menitikberatkan pada hasil ada baiknya dirubah. Karena siswa akan berpikir bagaimana caranya lulus daripada memikirkan proses pembelajaran selama beberapa tahun di bangku sekolah. Hal ini memancing setiap siswa untuk berpikir instan sehingga ada kecenderungan menghalalkan berbagai cara.
Intinya, masalah korupsi di negara ini tidak lepas dari mutu dan sistem pendidikan itu sendiri. Semakin baik mutu dan sistemnya, maka kemungkinan besar korupsi dapat diminimalisir. Akan tetapi, jika mutu dan sistemnya buruk, kemungkinan besar korupsi dapat tumbuh subur walaupun tidak kita inginkan.
No comments:
Post a Comment