Saturday, August 19, 2006

KADANG MUNAFIK ITU PERLU

M ZAKKY R

Munafik. Siapa di dunia ini yang tidak membenci kata itu? Munafik, bagaimana pun bentuknya kerap kali dibenci. Entah kenapa. Mungkin karena munafik itu pengecut, oportunis, bermuka dua dan lainnya.

Tidak ada seorang pun manusia yang bercita-cita menjadi orang munafik. Semua ingin menjadi orang sukses. Namun dalam kenyataannya, manusia sering kali menggunakan kemunafikan. Dan percaya atau tidak, munafik telah banyak membantu manusia di dunia ini.

Rea : Hai, kemana aja sih? Udah lama gak ketemu. Gimana kabarnya?
Aya : Alhamdulillah baik. Aku sibuk sama urusan kuliah.
Rea : Ooo…ngomong-ngomong udah nonton film baru, belom?
Aya : Film apa?
Rea : Film yang hot. Mmm…semisal Gadis Dago gitu.
Aya : Oh, sorry. Aku nggak mau nonton.
Rea : Lho,kok? Jangan munafik deh. Kalo kamu suka jangan bilang nggak suka.
Aya : Aku cuma bilang nggak mau, bukan berarti aku nggak minat.
Rea : Apa bedanya?
Aya : Sex itu kebutuhan pokok setiap orang. Aku pun bakal melakukannya satu saat nanti, yang pasti bukan sekarang. Aku Cuma bilang kalau aku nggak mau nonton film seperti itu, untuk saat ini.
Rea : Berarti, suatu saat kau akan menonton film porno?
Aya : Ya, tepat sekali. Aku akan menyaksikannya dalam bentuk yang sangat nyata. Bukan lagi di layar televisi, komputer atau HP. Akan tetapi secara live di depan mataku sendiri. Karena yang kulihat dan kutonton adalah istriku sendiri!
Rea : Wow, mengagumkan sekali. Aku suka bahasamu. Seperti yang kau tahu, kita ini adalah remaja yang belum dewasa. Lebih tepatnya kita berdua adalah manusia labil. Apa kau tak pernah tahu bagaimana labilnya manusia seperti kita?
Aya : Aku tahu. Aku pun sadar kalau aku adalah manusia labil. Mungkin suatu saat aku akanmengingkari ucapanku tadi. Tapi, siapa yang bisa menentukan? Untuk urusan 17+ aku tak mau mengorbankan masa depanku. Apalagi masalah sex.
Rea : Oya? Bukankah sesuatu yang pasti di dunia ini adalah ketidakpastian itu sendiri? Ucapanmu tidak dapat aku pastikan. Aku pikir kau akan mengingkari ucapanmu, cepat atau lambat.
Aya : Bisa kau jelaskan?
Rea : Begini, hal-hal yang kau bicarakan tadi adalah teori hitam-putih. Dimana hitam dianggap jahat dan putih dianggap baik. Kau mengatakan—tentunya secara tersirat—kalau sex itu mengotori pikiran remajamu. Seolah-olah sex itu hanya milik orang dewasa saja, dan kita tidak berhak. Aku ingin bertanya padamu tantang satu hal yang sangat pribadi. Apakah kau sepenuhnya tidak pernah melakukan hal-hal yang berhubungan dengan sex? Satu permintaanku: jawab dengan jujur.
Aya : Maksudmu?
Rea : Membaca artikel sex sendirian tanpa diketahui orang lain, menonton film porno sendirian, websex, atau bahkan kau melakukan…
Aya : Aku mengerti! Jadi yang kau maksudkan itu adalah aku melakukan hal-hal “tanda kutip” sendirian, begitu?
Rea : Pertanyaanmu terlalu polos untuk ukuran seorang remaja. Aku hanya bisa katakan kalau hal itu adalah yang kumaksud.
Aya : Dengan kata lain, kau ingin aku berkata jujur secara pribadi, bukan?
Rea : Aku pikir pikiranmu terlalu parsial—memisahkan pribadi dan masyarakat. Bukankah pribadimu mencerminkan siapa kau sebenarnya?
Aya : Baiklah. Namun pertanyaanmu terlalu menyimpang dari konteks.
Rea : Maka dari itu, segera buka kedok munafikmu!
Aya : Untuk apa? Pentingkah?
Rea : Kadang teori tak sesuai dengan kenyataan. Kadang ucapanmu belum tentu benar 100%. Jadi, banyak celah untuk melakukan hal-hal yang tidak seharusnya dilanggar.
Aya : Apa aku harus membeberkan sitat burukku di hadapanmu? Apa untungnya? Mungkin kau puas ketika semua sifat burukku terbongkar, dan kau menang. Setelah itu…apa lagi?
Rea : Itu saja. Aku hanya ingin kau tidak menjadi orang munafik. Hanya itu.
Aya : Kau harus tahu kalau sampah itu harus kita tampung di satu tempat yang jauh dari keramaian. Sama, kesalahanku juga harus kusimpan dan jangan sampai orang lain mengetahui—semua orang pun selalu begini. Karena jika kukeluarkan akan menimbulkan “bau tak sedap” yang memungkinkan orang-orang menjauhiku. Bukankah kau juga begitu?
Rea : Namun aku tidak sepertimu!
Aya : Ya, kita tidak sama dan tidak akan pernah sama. Tapi, sifat dasar kita sebagai manusia adalah sama.
Rea : Namun aku bukan kau!
Aya : Secara tidak langsung, kata-katamu menunjukkan kalau kau tidak mau mengakui kenyataan yang memang sudah nyata. Kau harus tahu satu prinsip manusia: Munafik itu perlu.
Rea : Aku benci orang munafik!!!
Aya : Tapi kau juga munafik!
Rea : Bisa kau buktikan???
Aya : Tak kubuktikan pun hal itu sudah terbukti. Kenapa kau tidak ambil saja HP seri terbaru milik ayahmu? Bukankah kau menginginkannya?
Rea : Itu pencurian namanya.
Aya : Itu bukan pencurian. Itu adalah sifat pengecut dengan segala kemunafikan yang kau punya. Kalau kau memang suka sex, kenapa tak kau lakukan saja dengan wanita mana pun dan dimana pun tempatnya. Kenapa kau hanya berani nonton film porno saja? Kenapa tak kau ajak adikmu untuk tidur bersamamu? Bukankah dia cantik dan menggairahkan untuk laki-laki normal sepertimu?
Rea : ……[diam]
Aya : Kala kau beranggapan semua kemunafikan manusia itu adalah sampah, kau salah besar! Karena kau juga munafik dengan segala ketidakberanianmu. Manusia butuh munafik untuk menjaga diri dari hal-hal yang dia pikir beresiko tinggi jika dikerjakan.
Rea : ….[berpikir]
Aya : Lihatlah, ketika kemunafikan telah dilucuti dan dibuang oleh sifat “tidak tahu malu”, banyak kejadian yang kita semua tidak inginkan. Lihatlah berita-berita kriminal di TV. Bukankah kita sering mendengar seorang ayah tega menodai anak gadisnya sendiri yang baru duduk di bangku SMP? Dengan kata lain, si ayah berkata: “Aku tidak munafik lagi. Aku memang menyukai anak gadisku dan aku ingin bercinta dengannya”. Bukankah dia telah melepaskan kemunafikannya sehingga terjadilah apa yang seharusnya [tidak] terjadi?
Rea : …[merenung]
Aya : Kadang…munafik itu perlu. Aku hanya berharap kau menjaga baik-baik rasa munafik di dalam hatimu. Setiap hari kau akan membutuhkannya untuk menjagamu dari hal-hal yang tak diinginkan.
Rea : ….[masih merenung. Atau mungkin telah sadar dari perenungannya?]

Setelah perdebatan panjang mengenai freedom, humanity dan ridiculous.

No comments: