Tuesday, January 01, 2008

ARTIS CILIK, MUSIK, DAN KEBEBASAN


Aku suka Eno Lerian. Aku nge-fans sama Bondan Prakoso. Nggak kalah juga aku bener-bener kepincut sama Trio Kwek-Kwek. Mereka adalah orang-orang hebat yang pernah meramaikan dunia musik anak-anak zaman baheula. Di zamannya, album mereka laris-manis mirip penjualan MP3 bajakan. Seppupuku sampe beli album trio kwek-kwek plus Eno Lerian. Sedangkan aku sempet-sempetnya belain—dan merengek-rengek—minta dibeliin lagu Si Lumba-Lumba milik Bondan Prakoso.

Well, bagi sebagian orang mengingat-ingat masa lalu dan masa cupu adalah hal yang nggak banget. Jijay! Tapi nggak buat gue. Gue termasuk tipe yang sangat menghormati masa lampau. Kenangan indah seputar penyanyi cilik nggak bakal gue lupain gitu aja. Karena itu masa lalu dan menjadi bagian hidup.

Apa sih istimewanya penyanyi-penyanyi kayak gitu? Masih alergi kalo denger Trio Kwek-Kwek? Atau trauma sama gaya Bondan yang sok macho mirip Rhoma Irama di lagu Si Lumba-Lumba? Emang nggak kangen apa sama tahi lalat di hidung Eno Lerian?

Ngaku aja deh, nggak usah malu-malu. Kalo kalian pernah merasa dan hidup pada dekade dimana penyanyi cilik sedang menjamur, gue yakin ingatan kalian bakal ditarik ke masa tersebut. Nikmati saja.

* * *

Zaman sekarang sepertinya industri musik kita lebih terfokus pada pertumbuhan band-band anak muda. Entah itu karena trend atau pasar, semuanya seakan terfokus pada pencarian bibit unggul dari anak-anak muda. Pencarian pun dikerucutkan lagi pada jenis-jenis musik Pop, Rock, Death Metal, Indie, dan sebagainya. Ditambah lagi dengan aroma kebebasan yang diembuskan beberapa tahun terakhir membuat semuanya serba permisif.

Termasuk dalam musik. Memang, warna musik saat ini lebih bervariatif dan mutunya semakin bagus. Penjualan album pun meningkat tajam. Buktinya album-album dari penyanyi kita laku keras di luar negeri. Sebut saja nama-nama seperti Peterpan, Radja, Padi, Samsons, dan lain-lain.

Namun kebebasan yang dibuka lebar-lebar membuat orang lupa diri. Kebebasan dalam bermusik saat ini tidak hanya terpaku pada aransemen dan komposisi musiknya. Akan tetapi telah menjalar pada lirik. Coba perhatikan lirik ini:

Udah nggak kuat nahan, pengen gitu-gituan

Ayo cepat masukan tapi pake pengaman

(Kungpow Chiken)

Atau yang lebih ekstrim lagi:

Perkosa Ibu, Sodomi bapak

(Forgotten)

Lirik-lirik lagu yang beredar sekarang tidak lagi memperhatikan batas-batas formal sebuah kewajaran. Ekspresi kebebasan begitu kental. Pemberontakan pada satu hal konvensional menjadi sebuah trend gaya hidup. Dan akhirnya ini menjadi sesuatu yang mainstream.

Untuk kawasan Bandung sendiri yang menjadi kiblat musik-musik underground di Indonesia, perkembangan band-band indie dengan lirik eksploradis (gabungan eksplorasi dan sadis) tumbuh subur. Sebagian tak memperdulikan lagi mana norma dan aturan. Sebagian lagi cenderung apatis. Dan lainnya hanya diam. Gue punya pendapat sendiri bahwa musik yang dibawa oleh anak-anak underground akan sama nasibnya menjadi ilmu di tangan ilmuwan-ilmuwan Atheis: bebas nilai.

Lebih tepatnya musik bebas nilai. Nggak peduli mau nulis lirik tentang sex, pemerkosaan, setan, atau apapun yang penting bebas. Walaupun harus menyinggung orang lain—bahkan menyudutkan—itu nggak jadi soal. Yang penting bermusik! Titik!

Forgotten, salah satu band underground di Bandung pernah dapet teguran keras dari MUI gara-gara lirik lagunya yang berperikebinatangan. Band gila tersebut seolah nggak mikir waktu bikin lirik. Bahkan, waktu ditegur sama MUI, si vokalisnya bilang kayak gini: Kumaha sia weh anj*ng!

Dari beberapa temen gue yang deket sama personel Forgotten, gue dapet info bahwa maksud dari lirik-lirik yang dibuat sama sekali nggak ada maksud buat memojokkan pihak manapun. Lirik tersebut diinterpretasikan lain oleh para penggemarnya sehingga banyak yang salah paham. Sebenernya yang salah tuh siapa? Yang bikin lirik atau penggemar?

Pernah ada fans Forgotten dari Malaysia yang nekat mau bunuh diri gara-gara denger lagu yang berjudul ”Tuhan Telah Mati”. Padahal, menurut sang vokalis, bukan berarti Tuhan itu telah tiada. Maksud dari judul tersebut adalah keadilan sulit ditegakkan saat ini sehingga banyak orang yang terdzolimi. Kebenaran sulit ditegakkan. Whatever!

Selain Forgotten tentunya masih banyak grup band lain yang kondisinya hampir sama. Eksplorasi besar-besaran mengusung tema sex, melakukan pemberontakan pada lirik, memakai atribut-atribut setan pada wktu konser, meneriakkan sekeras-kerasnya kata-kata kasar merupakan ekspresi atas nama kebebasan. Makanya, gue sangat alergi jika ada orang yang berbicara atas nama kebebasan. Gue menyebut mereka dengan julukan Epigon Intelektual.

Memang, kebebasan adalah hak setiap orang. Dan setiap orang bebas dalam mengekspresikan dirinya entah itu dalam musik, politik, sosial,atau apapun itu. Hanya, pertanyaan gue adalah, sampai dimana batas kebebasan tersebut? Apakah memang kebebasan tidak ada batasnya? Atau batas kebebasan adalah kebebasan itu sendiri? Lalu, untuk apa aturan difungsikan? Apakah pantas kita berjustifikasi dalam segala hal atas nama kebebasan? Kebebasan yang rancu!

Waktu demam virus Al-Qiyadah Al-Islamiyah, banyak orang-orang bego agama yang mendadak jadi sok pinter di depan televisi. Mereka bilang kalau Al-Qiyadah itu harus dilindungi karena negara ini menjamin kebebasan hak setiap individu untuk melaksanakan ibadah sesuai keyakinannya masing-masing. Mereka juga mengecam tindakan brutal dan penyerangan terhadap golongan—sebut saja aliran sesat—tertentu. Karena kenapa? Karena itu melanggar HAM.

HAM, Hak Amoral Manusia.

Dikit-dikit HAM, dikit-dikit HAM. Sepertinya HAM udah dijadiin semacam tameng guna membenarkan tindakan yang salah. HAM bukan sesuatu yang mewah lagi. HAM telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan lewat media massa. Jika sudah begitu, HAM hanya akan menjadi komoditi di tangan orang-orang berduit.

Apa pantes aliran yang jelas-jelas sesat dan mencemarkan nama baik agama tertentu dibela habis-habisan atas nama HAM? Terus, kalo ada orang maling dan ketangkep apakah dia layak dinyatakan tidak bersalah dengan alasan bahwa mencuri adalah hak setiap individu? Hey, bukankah maling adalah kemampuan alamiah manusia? Lalu kenapa tidak dimasukkan saja ke dalam daftar HAM?

Boleh-boleh aja sih bikin aliran baru, tapi tolong jangan mengatasnamakan Islam. Gue heran, hari gini masih ada aja orang setengah waras ngaku-ngaku Nabi Muhammad lah, titisan Jibril lah, pernah pergi ke surga lah, dan semacamnya. Mana gue nggak tahu apakah dia punya mukjizat atau nggak. Gue pengen lihat orang-orang setengah waras itu parade kemampuan di televisi. Misalnya Lia Eden dibakar hidup-hidup untuk mengetahui apakah dia kebal terhadap api atau nggak—sebagaimana kisah Nabi Ibrahim. Atau Ahmad Musadeq suruh terbang ke langit dan Sidratul Muntaha. Tapi sampe sekarang, gue belum denger mukjizat dari beberapa ”Nabi” kurang waras tersebut.

Beginilah akibatnya jika kebebasan dipegang oleh orang-orang oportunis. Dan perlu diketahui, Indonesia adalah stok terbesar pemasok orang-orang dan spesies seperti ini.

Untuk semua epigon intelektual yang sok tahu, ada baiknya memperdalam kembali ilmu dan pengetahuan tentang kebebasan. Karena kebebasan yang kita pelajari bukanlah kebebasan murni. Akan tetapi kebebasan versi barat yang telah dimonopoli sedemikian rupa. Masih berminat menjadi pembela HAM versi barat? Silakan saja, saya tidak akan pernah memaksakan kehendak pada orang bodoh.

* * *

Sebenarnya kita semua telah mendzolimi anak-anak. Kita hanya peduli pada generasi kita dan lupa pada generasi selanjutnya. Generasi hari ini sedang membutuhkan figur yang tepat. Sayang, tidak ada solusi yang kita berikan.

Dulu, ketika kita masih anak-anak, setiap hari selalu aja disuguhin tembang dari beberapa penyanyi cilik. Bahkan dulu, gue sempat tergila-gila sama Sherina Munaf gara-gara film ”Petualangan Sherina”. All about Sherina gue koleksi. Mulai dari kartu pos, kaset, poster, majalah, dan stiker. Gue bener-bener ”jatuh cinta” sama Sherina.

Lain lagi cerita temen gue. Saking nge-fans berat sama Maisy—pengisi acara CI-LUK-BA, dia bela-belain ngirim surat dan minta fotonya. Walaupun harus membayar sejumlah uang buat dapetin fotonya.

Acara semacam Tralala-trilili dan CI-LUK-BA udah jarang banget sekarang. Papa T Bob juga nggak tahu ngilang kemana. Lagu-lagu anak ibarat barang langka di zaman sekarang. Nggak ada lagi ”Si Lumba-Lumba” atau ”Cit-cit cuit”. Geovani, Saskia, Joshua, dan yang lain telah menghilang dari peredaran. Padahal anak-anak butuh banget figur artis cilik.

Sadar atau nggak, anak kecil zaman sekarang lebih cepet dewasa sebelum waktunya. Kasus pelecehan anak SD oleh temannya banyak terjadi. Kelakuan mereka pun udah nggak ada bedanya sama orang dewasa.

Mungkin, karena tidak adanya figur di kalangan anak-anak, mereka berpaling pada figur orang dewasa. Lagu-lagu bertema cinta, perselingkuhan, kekerasan, dan hedonisme menjadi ”santapan” bagi anak-anak usia dini. Gue pikir, hal ini kurang pas diterapkan pada anak-anak.

Sebagai bangsa yang peduli akan perkembangan generasi selanjutnya, mari kita berikan perhatian pada generasi di bawah kita. Generasi di bawah kita sangat membutuhkan perhatian. Jangan sampai kita menjadi bangsa yang membiarkan generasi selanjutnya hilang begitu saja—Lost Generation.

2 comments:

Fajar Fauzi Hakim said...

oh ngarti zak
jadi budak leutik euweuh pilagueun iwal lagu budak gede?
karasa zak...
ngan, bener maksudna kitu?

Zakky Rafany said...

Yup, begitulah yg saya maksud. Terlalu dewasa bagi yg muda, dan terlalu dipaksakan...