Thursday, May 08, 2008

SUKSES ITU....???

08 Mei 2008

Semua karena semangat. Tak ada kata selain semangat. Percuma kau punya skill jika tak dibarengi semangat. Semangat adalah jalan panjang menuju sebuah pertemuan mengejutkan bernama momentum.

Kemarin, aku sempat berdiskusi dengan bang Iwan—staf bidang marketing di sebuah penerbitan. Sebenarnya ngobrol dangan dia adalah hal biasa yang kulakukan di kampus. Hampir setiap minggu jika tak ada halangan, kita berdua selalu menyempatkan untuk diskusi tentang masalah-masalah apapun. Penerbitan tentu saja jadi perbincangan, kondisi kampus menjadi bahan kritikan, jalanan di Bandung sangat menjengkelkan, tulisanku yang sempat ditolak, gadis-gadis Unisba yang aduhai memikat hati, dan kondisi internal BEM masing-masing. Ya, hampir tak ada yang berubah setiap kali bertemu. Topik yang dibahas selalu itu dan itu saja. Tak ada yang baru.

Namun kemarin, aku benar-benar dibuat sadar akan satu hal. Tak kusangka pertemuan itu begitu sangat kebetulan. Dimulai dari diriku yang biasa nangkring di BEM, secara tiba-tiba bang Iwan datang dan menyapa.

’Ada kuliah kau hari ini?” Dengan logat batak yang kukenal.
’Udah beres, bang.’
Kami berdua duduk. Dan seperti biasa, percakapan dimulai.

’Gimana, sudah kau tamatkan tulisanmu?”
’Belum, bang.’
’Kau jangan putus semangat karena naskahmu ditolak. Justru di situlah kau harus bangkit.’
’...’ Seperti biasa, suntikan motivasi.
’Aku sebenarnya iri sama adik aku. Umurnya empat tahun di bawah aku...’ Sambil menerawang ia melanjutkan percakapan, ’Tapi dia udah lulus sarjana dan sudah nulis buku. Aku yang udah umur 28 tahun, masih saja tetep kayak gini.’
Bang Iwan pernah cerita kalau dia punya adik yang kuliah di Unpad. Selain lebih muda, adiknya juga sedikit lebih beruntung. Novelnya sudah diterbitkan oleh beberapa penerbit terkemuka.
’Dulu aku lebih mentingin kerja di penerbitan. Kuliah terbengkalai. Gaul pun jarang. Aku berorientasi sama kerja dan tak pernah sosialisasi. Tapi pada akhirnya, aku sadar kalau itu salah. Aku ngerasain itu sekarang.’
Wow!
’Kau tahu Zak saudara aku? Dia saat ini sudah sukses karena pernah mengalami cobaan hidup. Dia pernah jatuh ke titik nadir hidup dan tak mempunyai motivasi untuk bangkit. Uangnya dibawa kabur oleh orang yang baru dia kenal. Tetapi sekarang dia telah menjadi salah satu prototipe manusia sukses. Mobilnya banyak, istrinya cantik, uang gampang, dan segala apa yang dia pengen tinggal bilang.’
’Wow, keren banget bang!’
’Dia pernah tak mempunyai apapun. Tetapi untunglah ada orang yang mengerti dengan keadaan dia. Dia terus dimotivasi oleh orang tersebut dan pada satu kesempatan, dia dipinjami modal sebesar tiga juta rupiah. Kau bisa bayangkan uang tiga juta mau dipake usaha apa?’
‘Hmmm…kecil banget, bang. Aku nggak tahu dia mau buka usaha apa.’
‘Uang itu dia belikan satu unit komputer pentium 2, kertas, dan printer. Untuk apa? Untuk ngetik naskah.’

DARRR!!!

Aku seakan disambar petir ketika bang Iwan bilang ‘untuk ngetik naskah’. Dengan modal pentium 2 pula. Aku nggak habis pikir.

‘karena dia ahli dalam bidang psikotes, maka dia buat sebuah buku panduan psikotes. Setiap hari tak ada kata selain ngetik dan ngetik. Sampai naskah pedoman psikotes itu jadi dan dikirim ke penerbit. Dan akhirnya diterima. Kau tahu, di situlah hidupnya berubah.’

Turning point!

‘Coba kau bayangkan, mobilnya sekarang itu bekas menteri. Plat nomernya saja masih pakai embel-embel RI di depannya. BMW-nya saja sudah puluhan. Mau ini tinggal beli. Mau itu tinggal ambil. Pokoknya ngeri lah aku dibuatnya.’

Jangankan abang, aku saja merinding membayangkan hal itu.

’Makanya, kau jangan putus asa. Jadi penulis itu sebenarnya ngeri. Ngeri kalau tulisannya jadi best seller. Dimana ada orang penghasilannya Rp. 120.000.000 tiap bulannya? Penulis bisa!’

Sudah bang, aku tak kuat mendengarnya! Rp 120.000.000 bisa beli kerupuk se-kota Bandung. Atau aku akan belikan motor baru, beli laptop, ganti HP, investasi, dan sisanya ditabung buat nikah haha...
Terus terang aku migrain. Penghasilan sebesar itu belum terpikir olehku. Aku baru berpikir kalau nanti aku bekerja penghasilanku harus diatas sepuluh juta rupiah—dollar juga bolah, Amien. Rp 120.000.000? cukup untuk memberi makan orang miskin satu bulan!

’Teruslah berkarya. Aku yakin suatu saat kau akan jadi sepeti itu.’
Amien. Beribu-ribu ’Amien’ kuucapkan dalam hati.
’Tapi ada satu hal yang masih mengganjal di pikiranku, bang.’ Dengan nada tertahan, giliraku yang berbicara.
’Apa itu?’
’Aku terperangkap oleh sebuah kalimat motivasi. Kalimat itu buatku jadi beban berat. Dan seolah aku merasa dipaksa untuk menjadi seseorang.’
’Kalimat apa itu?’
’kalimat motivasi biasa bang.contohnya seperti ini ’jika Bill Gates, Thomas Alfa Edison, dan Einsten mampu menciptakan berbagai penemuan besar modern, kenapa kita tidak bisa seperti mereka? Bukankah mereka sama seperti kita?’
’Apa yang jadi beban?’
’Aku seolah dituntut untuk menjadi orang lain, bukan diriku yang sebenarnya. Aku terjebak dalam teori. Aku dituntut untuk menjadi Thomas Alfa Edison, aku dituntut menjadi seperti Bill Gates, seperti Einstein, padahal aku tak mampu menjadi seperti mereka. Kemampuanku tak bisa seperti mereka. Dan yang paling parah, kata-kata motivasi tersebut sangat membangun sekaligus membunuh.’
’Kau tahu, menulis itu bukan beban. Menulis adalah seni. Seni mengolah kata menjadi kalimat berkaitan sehingga membentuk suatu kejadian yang bisa dipotret oleh orang lain. Pada akhirnya, dia mengandung suatu makna yang berarti. Kau harus tahu, salah satu indikator buku itu bagus adalah komentar beberapa tokoh—endorsement—yang terpampang dalam buku. Percayalah, menulis bukan beban. Waktu pertama kali kulihat tulisanmu, aku sudah merasakan kalau tulisan kau itu punya kekuatan. Walaupun beberapa terkesan masih rancu, but it’s ok tulisanmu sebenarnya sudah bisa dijual dan diterbitkan. Hanya masalah semangat yang kadang kau sendiri tak punya.’
’Hmmm...semangat ya?’

Gejala psikologi memang salah satu penghambat untuk terus semangat. Tetapi, yang sering aku alami adalah gejala procrastinator, gejala sering menunda-nunda untuk menyelesaikan pekerjaan—naskah.

’Saudaraku, kalau saja dia tak punya semangat, belum tentu dia bisa sesukses sekarang. Walaupun dia mempunyai keahlian dalam bidang psikotes, dia juga mempunyai semangat tinggi untuk menyelesaikan naskahnya.’
’...’
’Coba kau terus jaga semangatmu. Kalau kau terus bisa menjaganya, kau akan semakin dekat dengan kesuksesan. Ingat, orang gagal itu bukan orang yang tidak pandai. Orang gagal itu adalah orang yang tidak tahu kalau sebentar lagi dia akan sukses. Karena tak tahu, dia menyerah di tengah jalan dan mundur dari perjuangan hidup. Padahal sebentar lagi dia akan sukses.’
’Hmmm...iya juga sih bang. Karena terus semangat akhirnya ketemu juga sama momentum.’
’Setiap orang tahu kalau dirinya bisa sukses. Namun, satu yang mereka tak tahu: mereka tak bisa memastikan kapan waktu yang tepat untuk menjadi sukses. Sama halnya dengan kematian. Setiap orang akan mati, hanya mereka tak bisa memastikan kapan mereka meninggal.’

JLEBBB!

Aku seakan ditusuk pedang kesadaran. Kata-kata ini begitu membius dan mengendap dalam pikiran. Lama aku mencerna kata-kata seperti ini karena—mungkin—kata-kata inilah yang saat ini aku butuhkan.

Selama ini aku selalu mempertimbangkan dan penuh perhitungan. Kalau misalnya dikirm ke penerbit ini dan dimuat, aku akan bla..bla..bla..tapi kalau tidak dimuat harus bagaimana? Setiap kesempatan aku coba untuk selesaikan naskah, masak sih nggak dimuat? Ya, perhitungan matematis semacam inilah yang kugunakan waktu itu dalam menulis. Sudut pandang yang kugunakan bukan sudut pandang seorang penulis, tetapi paradigma pedagang di pasar. Tulisan, bagaimanapun jenisnya, adalah sebuah tulisan. Entah kau menyebutnya novel, roman, puisi, cerpen sastra, essay, artikel, semuanya adalah tulisan. Perbedaan yang mencolok adalah: dimuat atau tidak, diterbitkan atau tidak, dipublikasikan atau tidak, dinila atau tidak, dan dibaca atau tidak.

Aku harus lebih bijak lagi dalam memandang sesuatu. Tidak semuanya harus dihitung dengan angka, diukur oleh eksak, dikalkulasi dengan persentase, dan disajikan dengan data statistik. Yang terpenting adalah modal diri. Seberapa jauh semangat kita untuk bertahan, mampu memupuk kemampuan dan menyuburkannya dengan motivasi, sehingga hasil yang dituai bisa memberikan manfaat tidak hanya bagi pribadi tetapi juga bagi orang lain.

Percakapn diakhiri karena pukul 14.26 Bang Iwan harus masuk kelas kuliah. Aku yang duduk di sebuah kursi panjang hanya bisa merenung diiringi tatapan seorang gadis mungil yang sedang menyeruput minuman. Ah, mungkinkah gadis itu akan menjadi bagian tolak-ukur kesuksesanku? Hehe... ;p

No comments: