Friday, December 12, 2008

ACiME: MERANGKAI KEMBALI PUZZLE



Sebenarnya saya bingung untuk mendefinisikan buku seperti ini. Disebut novel bukan, disebut antologi cerpen bukan, atau mungkin ada yang tahu buku jenis apa yang telah saya baca ini? Lebih mirip catatan harian fiksi sebenarnya, tapi ah bukan. Sebuah memoar? Bukan juga. Ah, buku teman saya ini, Fahd, membuat saya bingung. Membuat saya ingin mendefinisikannya sembari diakhiri dengan satu kata: tapi. Buku ini fiksi, tapi…

Tapi baiklah (tapi lagi), tak usah terlalu dipikirkan. Menulis bukan sekedar mengikuti genre apakah tulisanmu novel, cerpen, fiksi, non-fiksi, atau karya tulis ilmiah sekalipun. Yang saya tahu, menulis tak ada teorinya. Menulis adalah menuang gagasan, mengkomunikasikan kata, merangkainya, sehingga menjadi sebuah kesatuan. Yang paling utama adalah membangun kedekatan dengan pembaca. Dan itulah yang selalu saya rasakan ketika saya harus membaca tulisan Fahd. Begitu dekat dan selalu dekat.

Dia seolah bisa membaca hal-hal yang terlupa untuk dikritisi manusia, merekonstruksinya, memodifikasi hal remeh-temeh, pertimbangan kalkulasi tulisan dan pemikiran, pengejawantahan ide, luapan emosi, gagasan meletup-letup, sampai akhirnya melalui proses tersebut tersajilah tulisan tak biasa. Lebih tepatnya, Fahd menulis dengan sudut pandang tak biasa.

Pertem(p)u(r)an dengan Tuhan. Salah satu judul yang saya suka. Nampaknya dunia nyata tak memungkinkan untuk kita bertanya tentang Tuhan. Maka kau mempertanyakannya, menggambarkannya dalam pikiran, berimajinasi, kontemplasi, atau apapun itu namanya, Tuhan ternyata dipersepsikan berbeda dalam setiap pemikiran masing-masing individu. Walaupun sebenarnya jawaban mengenai Tuhan selalu berupa tanda tanya baru, tapi perbincangan Tuhan tetaplah menarik. Karena Tuhan kadang terasa begitu dekat, adakalanya berjarak. Sesuatu yang tak terjamah, tak tercapai oleh logika terbatas manusia, tak diketahui dzat-Nya.

Misteri. Sama halnya ketika kita membicarakan cinta. Ketika kita mencoba untuk mendefinisikannya, semakin nampak ketololan kita. Karena ketika kita coba untuk mendefinisikannya, kita malah memberi batasan sempit daripada sebuah gambaran yang jelas. Bukankah bentuk lain dari definisi adalah batasan? Yang membuat kita memaksa untuk membuat rasional sesuatu yang irasional. Memaksa membuat logis sesuatu yang tak logis. Maka, di buku ini, kita akan mendapati seorang penulis yang bergumul dengan beribu tanda tanya, namun akhirnya sampai pada kesimpulan tidak tahu. Atau kadang membiarkan pembaca menyimpulkan sendiri. Ah, penulis yang pandai berkelit.

Ada juga Rindu. Tulisannya singkat, hanya satu paragraf. Seseorang yang menelfon kemudian berkata: aku kangen! Ya, sangat jujur dan natural. Mungkin siapapun bisa menulis seperti ini. Tetapi jarang orang mau melakukannya. Terlalu sederhana mungkin, tapi itulah cinta. Bahkan tulisan sesingkat itu tentang cinta bisa kita nikmati.

Lalu ada tulisan tentang Gaia yang sakit. well, secara implisit Fahd berbicara tentang kerusakan lingkungan, berbicara tentang global warming. Sebelumnya saya nggak ngeh, tapi setelah membacanya beberapa kali saya tahu kalau Fahd mengkritisi kita—manusia—karena telah merusak lingkungan. Sehingga kondisi Gaia makin hari makin panas, dokter ahli sekalipun tak bisa menurunkan panasnya. Jika nanti suhu Gaian mencapai titik klimaks, haruskah kita pindah ke Mars? Karena menurut beberapa penelitian di sana terdapat tanda-tanda kehidupan mirip bumi. Hmmm…ekstrim!

Overall, buku ini bagus. Walaupun ada beberapa tulisan yang sebenarnya terlihat tidak penting semisal Rindu, but it’s ok. Pertanyaan seputar Tuhan, Kedalaman cinta, dan Kesadaran begitu kental dalam A Cat in My Eyes. Itulah mengapa buku ini begitu kuat mempengaruhi pembacanya, karena A Cat in My Eyes (ACiME) tidak membicarakan tentang sesuatu di luar diri. ACiME justru ‘menguliti’ dan ‘menelanjangi’ diri kita sendiri. Dan pembaca hanya bisa berkata: Iya ya, kok gue banget ya…?

Buku ini ‘menampar’ wajah saya secara tidak langsung. ‘Menampar’ kesadaran kita secara tidak langsung. Tapi yang pasti, yang saya salut dari Fahd, dia bisa mengkomunikasikan tulisannya dan mendekatkan diri dengan pembaca. Saya tidak bilang tulisan Fahd bagus, tapi tulisannya sangat dekat. Tidak berjarak dengan pembaca. Itulah kekuatan ACiME.

Akhirnya, setelah membaca buku itu, saya bisa melihat rangkaian puzzle yang berserakan membentuk diri menjadi sebuah kesatuan. Serpihan puzzle yang bererakan seolah terangkai dengan sendirinya dalam pikiran saya. Saya bisa melihat jelas sekarang, betapa hal yang remeh-temeh, pertanyaan sederhana, tak penting, invisible, bisa dirangkai menjadi sesuatu yang sangat berharga.

12 comments:

Setya Nurul Faizin said...

setuju!!!
merangkai puzzle,,
mungkin ungkapan itu memang sesuai untuk menggambarkan kegiatan membaca ACiME-nya kang Fahd,,
makanya kubilang, setelah selesai baca buku ini, akan ada dua pendapat yang keluar: "buku ini membingungkan" atau "buku ini mencerahkan",,(berdasarkan survei beberapa teman yang kutunjukkan buku ini)
seperti orang yang merangkai puzzle,,
orang yang berhasil akan bilang "wow!! hebat gambar ini!!"
yang gagal akan dengan lesu bilang
"hff,,payah!!puzzle ini membosankan!!"
^_^
kira-kira begitulah,,
(maksa ya,,)

SETUJU juga!!
pernyataan:
"iya ya, kok gue banget?"
tulisan-tulisan kang fahd memang selalu bikin aku iri,,
sepertinya apa yang ada di benakku yang belum sempat kutorehkan dalam bentuk tulisan, selalu dengan apik dia catatkan terlebih dulu dalam tulisan-tulisannya,,
beberapa tulisannya (di blog) membuatku menyesal bukan kepalang karena menunda (tidak) menulis tentang tema-tema itu:
MIMPI, KEBETULAN, CERMIN, HUJAN, RUMAH

kritik:
lama pisan atuh urang nga-review bukuna??
eta teh kenapa nggak ada sampul ACiME-na??
nte mau ikut kompetisi-na nya??
(maaf jikalau logat sundanya wagu,,maklum, wong jowo asli yang dapat teman sekamar orang garut,,jadi, ngomongna rada kecampur,,^_^)


saran:
ikutan kompetisi atuh,,
review-nya cukup mewakilkan apa-apa yang tidak tersampaikan di reviewku,,
siapa tahu jadi juara satu dan dua yang saling melengkapi,,
weleh-weleh,,
^_^

Zakky Rafany said...

Iya, buat sebagian org mah nyusun puzzle teh membosankan. Tp bagi sebagian yg lain sangat mengasyikkan. Termasuk saya, suka 'menyusun' puzzle sambil mengerutkan kening hehe...

Kamu merasa 'dicopet' ide-idenya? Hmmm...coba konfirmasi Fahd spy dia mengembalikan ide2mu itu hehe...

Iya rada lama ini review'xa, coz kemaren2 lagi banyak kesibukan. Terus jg lg ga mood, jd baru smpet sekarang.

Bagus Jan, org Jowo sing iso Sunda Alaaach.... :D

Iya, udah saya ganti. Saya putuskan ikut lomba review karena saya tak kebagian kaos huhu...
Semoga kita berdua masuk dalam 5 pemenang yg bakal kebagian kaos itu. Amien...(ngarep pisan haha...)

Dluha Mutammimah said...

Kalau boleh jujur sebenarnya saya belum mau komentar, karena belum baca bukunya,,he,,he,,he,, (maaf ya Fahd, abis bukunya belum nyampe ke toko buku sini).
Tapi kepalang tanggung log in, saya mau komentar tentang tulisan Zaki.

Tulisannya bagus kok, cukup mendeskripsikan bagaimana pengalaman membaca buku. Tapi di beberapa bagian kok saya mendapati kata2 yang menurut saya berlebihan yah misalnya,

"Ketika kita membicarakan cinta. Ketika kita mencoba untuk mendefinisikannya, semakin nampak ketololan kita. Karena ketika kita coba untuk mendefinisikannya, kita malah memberi batasan sempit daripada sebuah gambaran yang jelas."

bagi saya mendefinisikan cinta adalah proses mengenalili diri kita yang hakiki, sama sekali bukan ketololan,hehehe

Zakky Rafany said...

Thankyu..thankyu T Duha.
Well, kadang mendefinisikan cinta menemui jalan buntu. tp sebuntu apapun, kadang kita menjadi keras dan berusaha mendefinisikannya. D situlah mengapa saya menyebutnya sebuah 'ketololan' (menurut saya lho hehe...)

Namun akhirnya, tentu kita sampai pd proses mengenali diri, jati diri hehe...

Unknown said...

kalian sedang mendiskusikan bukuku? wah, menarik sekali. Duha, ayo cari bukuku. jangan ketinggalan zaman gitu ateuh... hehehe

Zakky Rafany said...

Tidak, kami tidak mencoba mendiskusikan buku. Kami hanya mencoba untuk jadi orang serius hehe... :D

Shanty Mahanani said...

Salam kenal..!

Shanty Mahanani said...

Puzzle yang akan kita persembahkan waktu deadline nanti..? Kalo di Gresik sudah ada bukunya, ntar kubeli..!

Zakky Rafany said...

Iya, puzzle'xa mesti beres sebelum deadline. Ayo mbak review juga heu...
^_^

Shanty Mahanani said...

Met Shalat Jumat..!
Jumat terakhir di tahun 2008...!

Fajar Fauzi Hakim said...

belum baca bukunya sih, tapi kurang lebih kesan yang ditangkap zaki saat membaca ACiME sama seperti kesan saya saat membaca Kucing.

btw, kamu teh mau bikin resensi buku atau ikut kompetisi???????????

membahas sebuah buku -dengan serius- atau mengesankan para juri?

Zakky Rafany said...

Hmmm...memang seperti membaca Kucing. Tp klo menurut saya mah Kucing lebih berat, idealisme'nya kental. Tapi klo ACiME lebih 'bersahabat' dan jinak hehe

Tadinya sih mo resensi aja, tapi saya keburu kebakaran jenggot takut gak kebagian kaos. Jd ya saya putar haluan ikut aja lombanya.

Hmmm...saya mencoba objektif. Karena resensi itu pada intinya 'menelanjangi' dan menilai apakah buku tersebut punya value 3B--Brain, Beauty, and Behavior. Lalu kalo punya apakah Brain itu smart, apa dia beauty & sexy, apa dia juga cukup behave?

Duuhh,,,naha jadi berat gini ya Jay..? Haha!