Friday, October 10, 2008

REUNI SD: SANGAT DJADOEL!



“Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah…”
—Chrisye, dalam penggalan lagunya—


Sebentar, jangan heran dulu. Dan jangan geleng-geleng kepala ketika menyimak judul di atas. Saya sudah paham jika dari beberapa orang yang membaca blog saya rata-rata menggelengkan kepala atau mungkin tersenyum heran ketika membaca judulnya. Seperti beberapa kasus ketika saya menulis Nyulik Anak Orang dan Kadang Munafik Itu Perlu. Oke, sebenarnya mereka tidak terheran-heran. Justru banyak yang tertawa. Semoga kalian awet muda.

Mungkin sedikit terlambat saya mengucapkan hal ini: Taqabbalallahu minna wa minkum, maaf lahir batin. Semoga shaum kita diterima oleh Allah dan pada saat satu syawal bisa kembali pada fitri. Bagi yang mudik dan sudah kembali saya mengucapkan selamat. Karena pemudik masih bisa menyempatkan bertemu sanak saudara walaupun jauh di seberang sana. Bahkan jika dibedah secara mendalam, fenomena mudik merupakan suatu bentuk perjuangan selain menahan lapar dan haus serta nafsu. Mudik adalah perjuangan menuju kepada orang-orang yang kita cintai. Mudik juga butuh pengorbanan besar diantaranya tenaga, kesabaran, dan tentu saja uang. Bahkan yang paling ekstrim adalah pengorbana nyawa. Karena setiap tahun selalu saja ada pemudik yang tewas akibat kecelakaan di perjalanan.

Tahun ini saya mudik ke Banten, rumah bagi para pendekar debus. Ranah Banten terkenal dengan debus, tapi anehnya justru saya tak begitu akrab dengan debus. Begini, saya pernah tinggal di Banten selama 9 tahun. Saya TK dan SD di sana. Saya juga besar di sana sebelum akhirnya ‘ngungsi’ ke Garut akibat Krakatau tidak meletus—iya, saya memang pindah ke Garut karena ingin sekolah, bukan karena Krakatau. Dan yang paling aneh adalah saya tak pernah menyaksikan pagelaran debus secara langsung di depan mata kepala saya sendiri. What a pity.

Sayangnya, beberapa orang teman saya beranggapan bahwa saya memiliki kemampuan bela diri tersebut karena pernah tinggal lama di Banten. Hey, mana mungkin gue bisa kebal golok? Lha wong saya punya rekor tersayat silet, teriris pisau, dan tertusuk jarum. Satu hal: semuanya berdarah...

Sekali lagi saya katakan, saya tak mempunyai kemampuan khusus debus atau sejenisnya. Saya tak punya mantra kebal senjata atau pelet—saya punya pelet ikan, jadi tolong jangan memakai logika kedaerahan. Karena ‘nasionalisme’ atau sebut saja ‘lokalisme’ saya terhadap Banten masih dipertanyakan. Saya asli Bandung, tapi lama tinggal di Banten. Lalu mondok di Garut kemudian balik lagi ke Bandung. Bandung memang kota setia, walaupun saya ‘selingkuh’ dengan yang lain toh Bandung tetap mau menerima.

Ketika tinggal di Garut yang identik dengan dodol, ternyata saya juga mengalami peristiwa yang sama persis dengan debus. Yaitu bahwa masyarakat Garut sendiri sangat jarang mengkonsumsi dodol. Saya perhatikan teman saya, dia jarang makan dodol walaupun dia asli Garut—yang saya ingat dia sangat sering mengkonsumsi nasi. Saya pun selama tinggal di Garut, mengkonsumsi dodol masih bisa dihitung dengan jari tangan. Entah mengapa, mungkin teman-teman saya yang dari Garut punya alasan logis untuk menjelaskan hal ini?

Baiklah, kita kembali ke permasalahan awal dimana tulisan ini berangkat dari sebuah judul, bukan berangkat dari kata debus dan dodol. Tepatnya seminggu kemarin lebaran, saya mudik ke Banten bersama keluarga. Tepatnya H+1 lebaran kami berangkat. Dari Bandung sekitar pukul 07.00 dan sampai di Serang pukul 10.00 WIB—Waktu Indonesia bagian Banten. Kami mampir dahulu ke rumah beberapa saudara yang terletak di Serang dan Pandeglang. Kemudian kami melanjutkan perjalanan sampai tibalah di tempat tujuan, di sebuah kecamatan yang terletak diantara Pandeglang dan Labuan, tempat dulu saya pernah tinggal di sana dan menghabiskan masa kecil, tempat saya TK dan SD, sebuah kecamatan bernama Menes.

Bagi sebagian orang mungkin nama ini terdengar agak asing di telinga. Sebagian lagi mungkin bertanya: Menes teh sebelah mana Ujung Kulon? Atau ada yang protes: Menes itu kan nama Fir’aun!

Sah-sah saja. sama ketika kita berkenalan dengan seorang teman yang berasal dari desa entah dimana itu namanya. Kamu dari mana? Saya mah dari Salawu. Where is Salawu exactly? Have you ever heard about it? Is it there on the map?

Menes. Kecamatan ini terletak di pertengahan antara Pandeglang dan Labuan. Labuan itu daerah yang berbatasan dengan pantai. Ya deketlah dari Labuan ke Pantai Carita. Daerahnya tidak terlalu luas seperti Bandung—iya, namanya juga kecamatan. Di sini suasananya masih suasana kampung. Walaupun begitu, Menes tidaklah kampung-kampung amat. Sebagian rumah terlihat sangat modern. Motor telah begitu menjamur di sini. Puskesmas dengan sarana lengkap juga telah ada. Hanya mungkin dari segi SDM Menes masih jauh tertinggal disbanding kecamatan-kecamatan lainnya.

Masih banyak lahan kosong dan lahan liar yang seolah dibiarkan begitu saja. sehingga lahan tersebut ditumbuhi oleh berbagai macam pepohonan, bahkan tak jarang menjadi sebuah kebun yang didalamnya terdapat berbagai macam pepohonan yang bisa diambil manfaatnya. Duren, cengkih, salak, melinjo—gnetum gnemon—, pisang, singkong, ubi, kumbili. Selain keanekaragaman pohon, ada satu hal yang membuatku ingin tertawa jika harus melafalkannya. Apa itu? nama-nama daerah di sekitaran Menes. Dulu saya biasa saja mendengarnya. Namun setelah terkontaminasi gaya urban Bandung, saya kok jadi pengen ketawa ya. Coba lafalkan beberapa nama daerah ini: Kadubangkong, Jiput, Kadubanen, Nanggorak, Cimedang, Ciketar, Cimanying, Kadubueuk, Munjul, Cikedal, dan tentu saja tempat tinggal saya dahulu: Rengat.

Serta tentu saja setiap daerah mempunyai logat tertentu ketika melafalkan bahasa daerahnya masing-masing. Banten memang mempergunakan bahasa Sunda, sama halnya seperti Garut dan Bandung. Hanya memang dari segi pelafalan dan dialeknya berbeda. Banten yang kutinggali lebih kepada Sunda yang menggebu-gebu, agak sedikit kasar, serta di beberapa daerah seperti Serang bahasa Sundanya ’sinkretis’ dengan bahasa Jawa. Mungkin kata sireu untuk wilayah Serang sudah tak asing lagi. Berbeda dengan daerah Ciamis dan seputaran Garut yang cenderung (agak) halus dalam segi substansi bahasa dan pelafalannya.

Sekitar tiga hari saya di Banten, berangkat hari kamis kembali lagi hari minggu. Tujuan utama mudik adalah silaturahmi. Katanya silaturahmi bisa memanjangkan umur. Maka saya dan keluarga selama tiga hari itu selalu menyempatkan silaturahmi kepada siapa saja. Lalu saya pun mempunyai inisiatif untuk melakukan silaturahmi bersama teman-teman SD saya dulu. Teman-teman yang saya tinggalkan delapan tahun yang lalu. Teman-teman yang dulu menjadi balad saya dalam bolos sekolah, berenang di sungai, babacakan plus botram, kerja kelompok. Ah, bagaimana kabar mereka sekarang?

Sebenarnya saya tak merencanakan adanya reuni. saya hanya ingin bertemu saja dan ngobrol dengan beberapa teman tentang banyak hal. Namun, ketika seorang teman berkata pada saya bahwa dia sedang merencanakn untuk kumpul bersama, jadilah saya bersemangat kemudian saya usulkan untuk langsung saja reuni. dia setuju, dan waktu kita sepakati malam minggu saja di rumah teman.
Malam minggu...

”Kang, Cimanying!”
”Siap, Jang!”
”Kebut kang! Tos telat yeuh!”

Sekitar pukul setengah delapan malam, saya berangkat ke rumah teman saya itu. Menggunakan jasa tukang ojek kenalan seorang tetangga. Jarak dari tempat saya ke rumah teman memang tidak jauh, hanya sekitar tujuh menit. Hanya menjadi jauh ketika harus berjalan kaki.

Saya berhenti di depan rumah teman saya, di depan pagar telah berdiri dua orang. Bukan, itu bukan teman saya. Itu adalah orang tua teman saya yang sengaja menyambut kedatangan alumni SD Menes 01. saya bersalaman dengan kedua orang tersebut dan masuk ke dalam. Di sana telah berkumpul beberapa teman saya, dan ternyata...mereka berubah! Sangat berbeda ketika dulu waktu saya di SD! Beda!

Jadi inilah perubahan wujud selama delapan tahun. Untuk beberapa teman, saya masih kenal. Tapi untuk sebagian lagi saya bingung. Bingung apakah ini benar teman saya, apakah ini teman yang saya kenal dulu, kenapa berubah menjadi orang yang tidak saya kenal? Ternyata kita terlempar ke mesin waktu alam, mesin alami selama delapan tahun!

”Damang, Ki?” Kata salah seorang teman.
”Alhamdulillah. Di dinya kumaha?”
”Alhamdulillah hade-hade bae...” Bisa kau bedakan jawaban orang Banten dan orang Garut jika ditanya Damang? Lihat saja jawabannya.

Memang, tidak semua teman berkumpul saat itu. Hanya beberapa orang saja. Selebihnya tidak hadir dengan alasan ada kesibukan lain. Hmmm...orang Menes ternyata menjadi orang yang super sibuk di Millenium ketiga ini.

Hal yang menjadi topik pembicaraan kami malam ini adalah flashback masa-masa SD. Karena menurut saya, itulah hal yang membuat suasana menjadi nyaman karena kita di situ mempunyai kedekatan satu sama lain yang disatukan oleh sebuah SD. Jika saya memutuskan sekolah di Bandung, mungkin saya tak akan pernah kenal dengan Mukhlis—saingan saya waktu SD—orang Nanggorak. Atau Deni yang selalu cool di hadapan kita semua. Atau Yandi, si tak mau diam, pelumer suasana. Dan kenapa saya harus sekolah di Menes? Saya tak tahu. Mungkin nasib waktu itu mengharuskan saya untuk stay di Banten.

Waktu SD, terutama anak laki-laki, identik dengan rasa penasaran yang tinggi. Termasuk saya. Saya juga sedikit nakal waktu SD, tapi tiba-tiba berubah menjadi ’jinak’ ketika pindah ke Garut. Waktu SD, ketika bel istirahat berbunyi, saya dan teman-teman yang lain selalu bermain ke sebuah sungai di seberang sekolah. Letaknya sekitar 400 meter dari sekolah. Sungai ini bernama Cikaret. Airnya jernih, menyegarkan. Dan di situlah ritual kami dimulai. Kami melepas seragam dan masing-masing dari kami menceburkan diri ke sungai mirip atlet lompat indah. BYURR!!!

Waktu istirahat yang tertera adalah 15 menit. Namun kami tak biasa dengan waktu sependek itu. Apalagi kami semua harus ’les’ renang di Sungai Cikaret. Maka waktu istirahat biasanya kami perpanjang sampai satu jam, atau minimal setengah jam. Guru-guru pun sudah mafhum.

Selain berenang ketika istirahat, kegemaran kami adalah berseteru dengan anak perempuan. Sebenarnya saya agak netral di sini, sedangkan teman-teman yang lain seolah tetap enggan melakukan gencatan senjata. Tak ada kibaran bendera putih, yang ada hanya genderang perang. Cuek-cuekan, pura-pura jaim, ledek-ledekkan, hal-hal semacam itulah.

Dulu, saya tak pernah kepikiran bisa meraih rangking satu. Ketika kelas satu, saya rangking delapan. Kalah oleh Ahmad Jalaluddin. Kelas dua saya tak masuk peringkat lima besar, kalah oleh Mukhlis yang waktu itu juara kelas. Kelas tiga saya peringkat lima. Baru setelah naik kelas empat saya mulai menikmati bagaimana rasanya rangking satu. Hmmm...asyik ternyata, karena secara otomatis menjadi terkenal. Saya menikmati rangking satu dari mulai kelas empat sampai kelas enam.

Lalu, apa hal yang membanggakan dari SD kami? Hmmm...SD kami sangat handal dalam baris-berbaris dan SKJ—Senam Kesehatan Jasmani. Menjuarai lomba baris-berbaris secara berturut-turut dalam rangka 17 agustus adalah ciri khas SD kami. Tapi kami agak sedikit payah dalam hal olah raga seperti sepak bola, tenis meja, bulu tangkis. Dalam segi keilmuwan cukup lumayan. Mungkin di sinilah kegemaran saya dalam menulis bisa tersalurkan. Saya ditunjuk menjadi wakil sekolah untuk lomba mengarang tingkat SD se-kecamatan. Alhamdulillah meraih juara dua. Dan dibawa ke tingkat kabupaten Pandeglang. Di tingkat kabupaten, guru saya mendapat kabar bahwa saya juara dua lagi. Saya tak tahu pasti karena ketika diumumkan saya sedang bersenang-senang dengan kawan-kwan—ngojay di Cikaret!

Yang paling saya ingat dan berkesan ketika waktu SD adalah ketika SD kami mengikuti kompetisi cerdas-cermat tingkat kabupaten. Utusan sekolah adalah saya, Mukhlis, dan Nizar. Tipe berpikir ketiga anak ini hampir sama: tipe penghapal. Karena dari SD kami tak ada orang yang menonjol dalam masalah eksak. Perbedaannya saya suka baca majalah Bobo, Mukhlis selain belajar dari buku pelajaran dia juga belajar dari alam, sedangkan Nizar adalah adik kelas kami. Saya juga tak tahu kenapa kami harus merekrut Nizar. Perlu diingat, kami bukan tim unggulan. Kami juga merasa minder jika berhadapan dengan tim sekelas SD Menes 03 yang pernah keluar sebagai juara tiga cerdas-cermat TVRI dulu. Atau berhadapan dengan SD Pandeglang 03 yang notabene kemampuan eksak dan hapalannya diatas rata-rata. Mungkin nasib kami berakhir sebagai tim genjreng saja. Atau yang lebih naas lagi, sebagai pelengkap!

Kami mengirimkan dua grup, grup pertama terdiri dari kaum hawa dan yang kedua tentu saja kamu Adam—maaf untuk waria, belum tersedia space. Cerdas-cermat tingkat kabupaten ini terdiri dari tiga sesi. Sesi pertama adalah penysihan. Kedua semi-final. Dan ketiga adalah final. Sesi pertama kami jalani dengan baik, walaupun dengan susah payah dan penuh ketegangan. Apalagi pertanyaan rebutan terakhir sangat mudah: Siapakah presiden Irak? Saya tahu, dan tim kami tahu. Tapi tim lawan lebih dahulu menekan bel. Dan dengan pedenya tim tersebut menjawab: Abdurrahman Wahid!

Dua tim dengan peringkat satu-dua berhak melaju ke babak semi-final. Dari empat grup yang bertanding di babak penyisihan, dipilihlah dua grup. Kebetulan SD kami menempati posisi satu sehingga berhak melaju ke babak semi-final. Di babak semi-final kami menempati posisi pertama lagi. Saya kurang begitu tahu siapa lawan kami waktu itu. Saya lupa lagi. Tapi yang saya ingat adalah ketika melaju ke babak final. Saya masih ingat betul lawan yang saya hadapi dan ternyata sesuai dengan ekspektasi awal saya. Di final tiga SD bertemu: SDN Menes 01, SD Islam Mathla’ul Anwar, dan SDN Pandeglang 03.

Semua tak heran jika SDN Pandeglang 03 melaju ke final, itu hal biasa. Tak ada yang perlu diragukan lagi. Sementara SD Mathla’ul Anwar diuntungkan sebagai tuan rumah. Dukungan tentu saja mengalir deras pada SD tersebut. Sedangkan SD saya? Saya tak tahu apakah SD saya waktu itu pantas meladeni dua tim superior ini. Terus terang, ini adalah pertama kalinya kami masuk final. Tahun-tahun sebelumnya selalu kandas di babak penyisihan. Saya pun bingung, mencari-cari alasan yang tepat tentang pantaskah kita melaju ke final? Kita tak punya sejarah menang, bukan tuan rumah, dan tak memiliki track record yang bagus. Ahh...biarkan saja kami melaju. Toh ini maslah hak, bukan menemukan korelasi dan alasan. Melaju ke final adalah hak bagi setiap pemenang.

Sekitar pukul 20.00 ketika hari sudah gelap, kami semua berkumpul di ruang kelas. Perwakilan dari berbagai sekolah di kabupaten Pandeglang ikut juga berkumpul di kelas. Mereka ingin menyaksikan babak final cerdas-cermat tingkat kabupaten. Perlombaan ini memperebutkan prestise. Siapa yang menang, sekolahnya menjadi terpandang. Dari pihak sekolah kami, guru tercinta Bapak Suparta datang mendampingi. Beliau ingin melihat anak-anaknya bertanding. Mempertaruhkan kehormatan sekolah. Walaupun sebenarnya sekolah kami tak layak dipertaruhkan harga dirinya.

Soalpun dibacakan. Ada yang terjawab dan ada yang tidak. Suasana tegang karena drama susul-menyusul angka di babak pertama. Di babak kedua, kami diminta untuk menebak kata yang terbentuk dari rangkaian beberapa sandi atau sebaliknya, terutama sandi morse. Selebihnya semaphore dan sandi rumput.

”Regu A, coba ubah kata M-A-N-I-S ke dalam sandi morse!”
”Tit-tiiit-tiiit...” Aku sangat bersemangat!
”Maaf, tolong jangan berbunyi seperti itu. Untuk membedakan yang pendek dan panjang coba memakai kata tik dan da. Silakan diulang” ujar sang pembaca soal.

Semua yang ada di situ tertawa. Kalian juga pasti tahu maksudnya. Aku mencoba tak memikirkan hal itu, anggap saja kesalahan yang memberi pencerahan.

”Pertanyaan selanjutnya untuk regu C. Kapan PBB didirikan?”
”...???” Diam, tak ada jawaban.
”Waktu habis! Silakan regu A...”
”24 oktober 1945” jawabku.

Pertanyaan-demi pertanyaan terus mengalir. Dan saat itu pula jawaban demi jawaban bermunculan. Saat babak pertama dan kedua, nilai ketiga tim relatif stabil. Satu sama lain nggak jauh-jauh amat. Tibalah pada babak selanjutnya, babak rebutan. Ini yang kami tunggu-tunggu. Kami bertiga mencoba relax dan jangan terbebani. Santai saja, kalah-menang biasa. Tapi menang harus hehe…

Ternyata pertanyaan-pertanyaan babak rebutan sangat mengejutkan! Karena rata-rata jawabannya terdapat di majalah Bobo yang saya baca. Mukhlis pun seakan sangat menikmati momen malam ini. Nizar? Saya tak tahu. Tapi saya yakin dia senang.

Pertanyaan demi pertanyaan kami jawab bersama. Kalau tidak saya, Mukhlis yang jawab. Kalau tidak Mukhlis, saya yang jawab. Nizar membantu kami dengan doa dan sesekali menyemangati dengan berkata: betul Jack, betul Muh!

Malam ini akhirnya menjadi milik kami, milik SDN Menes 01. kami bertiga juga tak percaya. Saya hanya bisa ternganga. Mukhlis dan Nizar juga heran. Suporter kami juga turut bersorak gembira. Dan terutama guru yang mendampingi kami waktu itu, Pak Suparta, terharu dan saya melihat beliau menitikkan air mata. Kami bertiga menghampiri beliau lalu beliau berkata, ”Bagus!”

Ahh...malam itu indah. Karena malam itu milik kami.

”Ki, diminum atuh aquanya...” Tegur salah seorang teman.
”Eh, iya.” Jawabku singkat
”Maaf ya di sini mah seadanya aja. Maklum di kampung...”
”Oh, nggak apa-apa.”

Obrolan terus berlanjut. Namun entah mengapa ketika kita bertambah dewasa, lalu tak bertemu selama beberapa tahun terpisah oleh jarak, banyak hal berbeda seolah kita tidak mengenal. Deny sibuk di sini dan telah bekerja di anu. Mukhlis kerja di anu. Yandi aktif anu. Yang menyatukan kita malam itu adalah kisah masa kecil.

Waktu menunjukkan pukul 22.30. adik saya memberi pesan agar jangan pulang terlalu malam. Ayah saya menelfon agar cepat pulang. Ah, saya masih rindu dengan mereka. Waktu yang hilang selama delapan tahun tak cukup dibayar dengan tiga jam. Saya perlu lebih lama lagi.

Akhirnya apa mau dikata, saya harus pulang. Saya berpamitan dengan semuanya. Kapan-kapan kita bisa berkumpul lagi. Kita berkumpul lagi dengan format yang beda. Kita berkumpul di Cikaret dan renang bersama misalnya. Bagaimana?

1 comment:

Unknown said...

Zak, akun blogger saya yang dulu entah kenapa dinonaktifkan blogger.com, jadi tidak bisa saya akses lagi. akhirnya saya memutuskan pindah alamat ke www.fahd-isme.blogspot.com dengan alamat domain tetap www.ruangtengah.co.nr
jadi link ke blog saya kalo bisa diganti aja sama yang itu. Thanks ya, Zak. :)

Regards,
Fahd
www.ruangtengah.co.nr
www.fahd-isme.blogspot.com