Friday, March 20, 2009

Pencapaian



Hari ini saya melamun, ketika membeli sop kaki sapi kesukaan ayah saya, di sebuah tempat di dekat rumah. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari rumah. Dan saya berjalan kaki sambil sesekali memandangi lapang volley yang dulu menjadi tempat favorit saya untuk main bola bersama teman-teman. Di lapangan bersejarah itu saya sering mencetak gol kemenangan. Di lapang itu pula ibu-ibu gila volley berkumpul saban sore hari. Tahukah kalian, lapangan ini adalah lapangan serbaguna tempat semua permainan berkumpul?

Atau rumah Amoed, tetangga dan sohib saya, yang dulu selalu menjadi basecamp jika hendak membicarakan hal yang menurut kami penting dalam sudut pandang anak SD. Di situ, di depan rumahnya kami biasa bermain kerambol, main nintendo (terutama Mario Bross), makan, membahas topic hangat masa SD, dan lainnya.

Ternyata semua berubah dan terasa cepat. Saya seolah melakukan lompatan kuantum, padahal baru kemarin rasanya saya jadi anak SD. Dan hari ini saya jadi mahasiswa, anak kuliahan.

Mungkin tempat kami tidak berubah. Rumah saya, rumah Amoed, lapang, posisinya tidak berubah sama sekali. Kami tetap tinggal di situ. Namun, ada suasana yang hilang, suasana yang selalu saya rindukan jika berkumpul dengan mereka. Suasana itu tidak saya dapatkan sekarang. Mungkin memang zaman, atau mungkin sudah seharusnya hilang karena takdir. Saya tak tahu. Yang pasti saya merindukan suasana itu, suasana khas dimana hanya kami yang tahu. Suasana yang menyatukan kami sebagai tetangga.

“Pesen apa mas?” Tanya pedagang.
“Oh, saya pesen sop kaki sapi satu porsi”.


Saya perhatikan si pedagang. Saya berpikir dan bertanya, apa dia nyaman dengan pekerjaannya? Setiap hari bergulat dengan kaki sapi dan kambing, bau daging, letupan kuah sop, dan tutup larut malam. Apa dia juga cukup dengan gaji yang didapat? Bisakah gaji itu mencukupi kebutuhan istri dan anak-anaknya? Pertanyaan saya mungkin penuh dengan keraguan. Tetapi itulah faktanya.

Tadi siang, saat saya dan teman-teman berkumpul di kampus, ada teman yang mengeluhkan sesuatu. Dia mengungkapkannya secara verbal, walau saya tahu keluhan itu sangat mewakili perasaan teman-teman saya yang lain. Atau mungkin mewakili perasaan kita semua?

“Naha hirup urang teh kieu-kieu wae? Euweuh perobahan…”

Dia mengeluhkan hidup yang seolah berjalan datar, statis, tak ada perubahan dalam hidupnya. Setiap hari dimulai serta diakhiri dengan rutinitas yang sama. pagi pergi ke kampus, masuk jam kuliah, nongkrong, setelah itu pulang. Skema itu terus berulang dan berulang. Seperti sebuah siklus, dia dimulai dan berakhir di tempat yang sama.
Teman saya yang lain mengeluhkan kondisi dirinya saat ini. Dimana setelah putus dari kekasihnya, seolah dunia kiamat. Saya tahu dia mencoba tersenyum dan bersemangat menghadapi hari, tapi nampaknya luka asmara terlalu sakit untuk ditutupi. Entahlah, dia mencoba sekuat tenaga untuk lepas dari belenggu dan bayang-bayang bersama mantan kekasihnya. Namun sekuat dia ingin melepas, semakin perih rasanya.

Namun bukan masalah itu yang saya tangkap. Sebenarnya mereka punya obsesi. Mereka ingin memulai usaha dan menghasilkan banyak uang. Mereka berdua sudah bosan hidup begitu-begitu saja, selalu hidup di alam rencana.

Persoalan menjadi rumit ketika mereka ingin berubah, bermunculan lah masalah pelik. Dan seperti biasa, sebagai manusia normal, mereka—saya juga sering—mengeluh. Sebagai manusia yang didera berbagai masalah, mungkin wajar jika saya atau kalian mengeluh. Namun menjadi tidak wajar jika hal itu berlangsung terus menerus dengan mengungkap berbagai macam apologi atas ketidakmampuan. Ya, kadang selalu bersembunyi dibalik ketidakmampuan.

Ini yang menjadi masalah serius buat saya. Saya memandang masalah mereka bukanlah cinta atau perasaan bahwa hidup ini tidak berubah. Buat saya, masalah itu penting. Semakin ruwet masalahnya, semakin tinggi kualitas manusia tersebut. Bukankah untuk naik level game kamu harus menghadapi musuh yang terkuat? Bukankah Ksatria Baja Hitam harus bertarung susah payah melawan Gorgom untuk kemudian menjadi Ksatria Baja Hitam RX?

Masalah sebenarnya adalah perubahan. Mau berubah atau tidak. Itu pilihannya.

Saat ini posisi saya mungkin hidup dalam bayang-bayang orang lain. Simpelnya seperti ini: saya ingin mobil ini, saya ingin motor itu, saya ingin punya rumah dengan tipe tertentu, saya ingin istri cantik, dan ekspektasi lain yang saya inginkan. Saya masih memimpikannya, saya masih mengusahakannya. Sedangkan di sisi lain, ada orang yang sudah lebih dulu memiliki segala yang saya inginkan.

Jika saya terus berkutat di alam rencana, saya tak pernah bisa menjadi apa yang saya inginkan. Maka saya memilih tak ingin terlalu berteori, tak ingin terlalu diam memikirkan hidup, tak ingin semua ini sia-sia. Saya mungkin lelah dengan semuanya, tapi lelah saya akan menghasilkan sesuatu. Itu standar hidup yang saya anut saat ini.

Saya menemukan dua hal aneh hari ini. Yaitu banyak orang takut menjadi miskin, namun tak sedikit pula orang takut menjadi kaya. Kita bekerja, kita belajar, kita beraktifitas untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Sebisa mungkin menghindari kemiskinan menuju kesejahteraan. Namun, mengapa banyak orang juga takut menjadi kaya? Takut kemalingan, takut diserang penyakit ‘orang kaya’ semisal kanker, bahkan takut mempertanggungjawabkannya di akhirat. Teman saya takut menjadi orang kayak arena katanya tanggung jawabnya besar. Teman saya yang lain takut diserang penyakit kanker, stroke, dan penyakit mematikan lain. Lalu saya tanya,” jika kamu sudah kaya, masihkah hal itu dipermasalahkan?”

Teman saya hanya diam dengan senyum simpul.

Persoalan mereka adalah mempermasalahkan sesuatu yang belum terjadi. Sedangkan permasalahan saya adalah menjadikan persoalan itu terjadi. Kita berbeda dalam hal yang sangat dasar. Dan ini akan menjadi sangat penting.

Saya percaya pada sebuah pencapaian. Bahwa kualitas seseorang itu akan menjadi berbeda dengan orang lain dilihat dari pencapaian yang didapat. Seorang yang mencapai derajat sufi pasti berbeda kualitas keimanannya dengan muslim biasa. Atau sopir bus, kualitas hidupnya pasti berbeda dengan ‘sopir pesawat’—walaupun jabatan keduanya sama-sama sopir.

Pencapaian berarti kita melewati tahapan hidup yang sangat penting demi merubah kualitas diri. Kita terus berubah dan mencari. Semakin tinggi pencapaian, semakin bagus kualitas hidup kita. Semakin banyak permasalahan, semakin banyak kita belajar. Semakin banyak belajar, semakin banyak kau tahu.
* * *

“Ini sopnya kang” Kata si pedagang.
“Berapa semuanya?”
“Lima belas ribu, kang”


Saya bergegas pulang, ayah saya sudah menunggu dari tadi. Ah, kenapa saya jadi mengkhawatirkan nasib si pedagang? Apa kekhawatiran saya mewakili nasib si pedagang? Mengapa saya jadi mempermasalahkan sesuatu yang saya tidak alami? Hehe…


Gambar: www.agylardi.wordpress.com

4 comments:

Setya Nurul Faizin said...

Subhanalloh Zack,,
tulisanmu kali ini sangat padat,,
dengan satu tema akbar "perubahan", kau bisa mengungkapkan ini dan itu yang ada di keseharian semua orang,,
(termasuk aku),,

belakangan, aku memikirkan sekaligus merasakan persis ap yang kau rasakan,,bahkan mungkin lebih besar dan lebih kuat,,

betapa pentingnya sebuah tindakan,,betapa seringnya kita mengangankan tanpa tahu kapan akan benar-benar memulainya,,betapa vital arti sebuah perubahan,,

bahkan aku yang belum lama melewati tikungan tajam kehidupanku, kini telah merasa terlalu datar jalan yang kulewati,,
ya, tikungan, tanjakan, dan turunan dalam hiduplah yang akan membuat hidup lebih berarti, yang akan membuat kualitas diri lebih tinggi, dan yang akan membuat kita lebih banyak tahu karena banyaknya pelajaran yang kita peroleh,,
benar-benar sedang kualami hal itu,,

mungkin seandainya aku tidak mengambil tikungan tajam ini, aku tak akan bisa menulis 'complicated' karena tak akan pernah bertemu dengan M dan A,,
maka mungkin aku tak akan belajar,,dan mungkin akan lebih lama lagi aku naik level,,

begitulah cara kerja-Nya,, selalu sarat kejutan (bagiku),, ^_^

...

jadi kangen masa kecil,,
mandi di kali hampir tiap sore,,
pulang sekolah lewat sawah sambil sesekali membantu pak tani menggemburkan tanah,,
main mario bros semalam suntuk (selalu merinding dan gugup kalo udah di level 4,,yang tempatnya ada api dengan musik mendebarkan,,hehhee),,
kalau lagi ngumpul bareng temen SD juga rasanya beda (sekarng),,nggak seperti dulu lagi,,


oya, utk comment-mu, tak ada yang perlu dipilih zack,, M dan A itu bukan pilihan, dan memang tak bisa dipilih,, orang mereka kakak beradik,, ^_^

Unknown said...

aku yakin si tukang sop kaki nggak memanggilmu "Kang", tapi "jang"... kecuali tukang sop kakina leuwih leutik... hehehehe... nice writing bro!

* "Pesen apa, jang?" hahaha

Fajar Fauzi Hakim said...

i could shed my tears if i'm able

teu ngarti kabeh sih, tapi ada beberapa yang bagian yang tepat untuk saya ambil saat ini (meski ga ngerti juga).

right post in the right time, thanks for that.

Zakky Rafany said...

@ Jan:
waaahh...trlalu brlebihan jan hehe..
Owh,,jd mrka adik-kakak toh?? Kok ndak bilang dr dulu? hehe...

@Fahd:
Angger da eta wae snjatana teh hehe...

@ Fajar:
ambil saja yg mnurut km pnting. Undhur ilal maqali,,wa la tandhur ila man qola hehe...