Tuesday, July 21, 2009

Haruskah Dibandingkan?


Membandingkan satu dengan yang lain. Aku rindu kata-kata ini, sekaligus sangat membencinya. Rindu karena aku bisa mengetahui berapa nilai diriku dibanding orang lain, berapa penghasilan orang lain dibandingkan diriku, berapa harga diriku dibanding orang lain. Aku benci apabila ada orang lain yang bisa melakukan lebih dariku, benci untuk memikirkannya, benci menjadi terbebani, benci untuk menjadi seperti orang lain yang aku tak bisa.

Padahal hal itu sangat relatif. Mungkin karena orang lain berpikir bahwa finansial adalah sebuah tolak ukur tak resmi yang selalu menjadi acuan, maka tingkat kesuksesan seseorang dilihat dari jumlah pendapatannya. Mungkin juga bahwa tingkat kesuksesan seseorang dilihat dari jabatan, setinggi dia menjabat setimpal dia mendapat. Yah, aku sadar bahwa ini sangat relatif bahkan ukuran kaya sekalipun. Kaya juga relatif, mahal juga relatif, semua serba relatif. Namun rasanya relatif telah berubah menjadi sesuatu yang pasti dalam masalah ini.

Yang bilang bahwa kau sukses karena kau kaya adalah orang yang bilang pada konteks zaman itu. Apakah hal itu akan menjadi sebuah nilai yang besar setelah zamanmu lewat? Aku tak tahu.

Namun setidaknya kau menciptakan sejarah. Karena pada dasarnya manusia ingin selalu dikenal dan dikenang sebagai seseorang. Aku juga begitu. Ingin dikenal banyak orang dan dikenang kalau sudah lewat masanya. Perasaanku begitu menggebu ketika harus berbicara dan menjelaskan sesuatu di depan orang lain. Entah apa yang merasuki diriku, yang pasti banyak motif. Ingin dikenal sebagai pembicara yang bagus, dikenal sebagai orang yang pintar bicara juga pintar ngobrol—untuk yang satu ini sangat alamiah, tak perlu bakat khusus.

Untuk menjadi seseorang yang dikenal nampaknya tidak mudah. Intinya lumayan sulit. Menjadi terkenal kau butuh jam terbang lebih tinggi dari biasanya. Menjadi terkenal kau harus meluangkan waktumu dan bergulat dengan sesuatu yang kau senangi—jika mungkin yang kau benci. Ah, menjadi terkenal nampaknya menjadi sebuah beban sampai tulisan ini diturunkan.

Well, ini berbicara tentang saya. Dimana selalu berkutat dengan dunia tanda tanya. Banyak hal yang selalu kutanyakan setiap hari dalam pikiran ini. Dan anehnya, pikiranku seolah tak pernah menyisakan ruang penuh bagi banyak pertanyaan. Selalu ada ruang yang disediakan untuk berpusing-pusing ria. Semakin kau berpikir bahwa hidup ini cukup, tak perlu dipertanyakan, semakin bertubi pertanyaan itu menyerang.

Dan pertanyaan saya kali ini adalah, haruskah dibandingkan?

Jika ada psikiater yang dengan sukarela mau memeriksa kejiwaanku, nampaknya aku akan masuk dalam daftar personal terganggu (DPT). Ya, terganggu secara kejiwaan. Adakah istilah yang menggambarkan bahwa seseorang selalu merasa tidak cukup puas dengan dirinya sendiri ketika melihat apa yang orang lain capai? Mungkinkah ini tetangga dekatnya kleptomania atau anoreksia? Apakah ini masuk dalam iri hati dalam istilah agama? Atau apa itu namanya?

Dia terkenal aku tidak. Aku terkenal dia lebih jauh terkenal. Dia kaya aku miskin. Aku kaya dia lebih kaya satu rupiah. Dia punya ini aku punya itu. Mengapa aku tidak punya ini tetapi punya itu? Mengapa masa laluku seperti ini dan masa lalunya seperti itu? Kalimat-kalimat semacam itu. Apakah kalian pernah mengalaminya? Atau mungkin sering? Aku sering.

Ya, anak SD pun tahu kalau kegiatan ini bernama membandingkan dua objek yang sangat berbeda. Permasalahan yang berbeda. Yang jadi persoalan adalah ketika hal ini selalu dipermasalahkan.

Mempermasalahkan kualitas, bukan kuantitas. Saat ini saya mempermasalahkan kualitas diri saya dibanding orang lain. Karena saya berangkat dari suatu teori dasar bahwa dalam memperdalam sesuatu bernama ilmu kita harus mendahulukan prinsip fastabiqul khairat—berlomba/berkompetisi dalam kebaikan—daripada prinsip qona’ah—merasa cukup dengan apa yang ada.

Dan pada satu kesempatan, saya diberikan sebuah perumpamaan. Sebuah analogi tentang masalah perbandingan ini. Ketika saya berkumpul dengan seorang teman dan membicarakan berbagai persoalan menarik. Salah satu persoalan yang kami bahas adalah tentang harga gadget yang akhir-akhir ini harganya turun dengan sangat tajam.

‘Aku beli gadget ini sekitar tiga bulan yang lalu. Sekarang harga gress-nya anjlok banget! Turun tujuh ratus ribu, man!’

‘Oh, ya?’

‘Beneran. Temen aku beli gadget merek T yang tadinya harga tujuh jutaan, dia beli Cuma lima koma lima juta kemaren. Parah banget, kan?’

‘Ah, buat saya itu gak jadi soal. Lagian kalau terus ngebandingin harga kan repot. Bisa-bisa nggak jadi beli karena nungguin harga turun’

‘…’

Memang, ini percakapan sederhana. Namun saya tidak bisa melewatkan. Ada sesuatu yang seolah tersirat dan memberi tanda pada saya bahwa ada sesuatu yang harus saya ambil dari percakapan ini. Entah apa, namun saya memikirkannya terus dan terus.

Saya mengerti satu hal, bahwa kita bukan mencari harga terendah demi kepuasan tertinggi. Bukan pula prinsip ekonomi yang mengatakan bahwa pengeluaran sekecil-kecilnya demi pendapatan sebesar-besarnya. Di sini saya mulai sadar bahwa intinya kita harus mengambil keputusan, apapun itu. Entah ketika harga tinggi atau harga turun, intinya kita mesti memutuskan untuk beli gadget tersebut. Karena tujuan dasar kita bukan menunggu harga turun ke dasar yang paling rendah, tujuan kita adalah memiliki gadget tersebut untuk dipergunakan.

Jika kita terus menerus berpikir dan menunggu karena pertimbangan harga, di Mall A harganya segini dan Mall B segitu, lalu berapa harga di Mall C ya? Apa lebih murah atau lebih mahal? Kalau misalnya lebih murah, berarti kemungkinan besar ada Mall yang bisa ngasih lebih murah lagi, tapi dimana ya? Ah, sebelum dapetin Mall yang paling murah mending browsing dulu, siapa tau ada yang jual di internet.

Terus dan terus pikiran kita diarahkan pada sebuah polemik harga karena perbandingan harga yang satu dan lainnya hanya beda tipis. Padahal tujuan awal kita adalah memiliki gadget untuk dipergunakan. Pada dasarnya, murah atau mahal bukanlah sebuah masalah. Yang menjadi masalah adalah selisih harga yang beda-beda tipis.

Hidup kita bukan diarahkan untuk melibatkan diri dalam polemik, justru diharuskan untuk memutuskan keluar dari polemik.

Ah, perbandingan. Saya pun sadar kalau saya tak seharusnya dibanding-bandingkan atau membanding-bandingkan diri saya. Bukannya saya tidak mau punya contoh. Saya hanya berpikir bahwa ini bukan lagi sebuah perasaan yang baik ketika kau menjadi terbebani oleh sesuatu. Maka saya harus putuskan tugas saya bukan membandingkan, tugas saya adalah melakukan apa yang saya sukai.

Jika terus dan terus melibatkan diri dalam polemik, kapan saya bisa bekerja? Kapan saya bisa kreatif? Saya rasa sudah cukup, saya ingin bernafas lega dengan tidak dibandingkan atau membandingkan diri saya dengan seseorang. Banyak hal terbengkalai dan harus segera saya selesaikan.

Jika saat ini kalian masih menunggu harga Blackberry jatuh di pasaran, segeralah ambil keputusan. Jika kalian masih menunggu harga Vaio P-series menjadi sangat rasional—yang biasanya dikonotasikan lebih murah—ambil keputusan sekarang. Kelak semuanya akan menjadi sangat relatif, kau bisa menyebutnya mahal namun belum tentu orang lain. Ambil keputusan: YA atau TIDAK.

No comments: