Monday, August 03, 2009

Sejenak Mengukur Malu


Mari kita menyanyi lagu kebebasan dengan atribut individualisme. Dimana saya dan kalian menjadi begitu berjarak satu sama lain, padahal kita dekat. Urus saja kepentingan kita masing-masing karena saling bantu hanya ada di pelajaran Kewarganegaraan—PPKN. Kita telah diajarkan untuk malu dari kecil—malu membantu, malu menolong, malu menyapa, malu berkenalan. Dan malu-malu yang lain jumlahnya masih banyak jika dirunut satu-persatu.

Wajar, sifat manusia mengenai malu memang ada. Coba periksa pada psikiater apakah kita masih mempunyai rasa malu atau tidak. Lalu tanyakan padanya berapa kadar malu yang kita punya sebagai manusia normal. Biasanya hal itu menghasilkan angka beberapa digit, semisal tes IQ yang bisa diukur dari angka dua digit sampai tiga digit. Jika angka dua digit katakanlah IQ kita 75, kita bukanlah orang jenius. Kita seperti Forrest Gump. Namun jika angka tiga digit katakanlah 130, kita disebut orang jenius karena tingkat kepintaran di atas rata-rata.

Masalahnya, saya tak pernah menjalani tes rasa malu. Saya tak tahu berapa kadar rasa malu yang saya punya. 50, 75, 80, 100, 120? Lalu, jika mungkin malu bisa diukur dengan angka seperti itu, apakah itu penting?

katakanlah rasa malu dianalogikan dengan IQ, namun menggunakan metode berbanding terbalik. Jika IQ angkanya semakin besar berarti semakin jenius, maka rasa malu adalah kebalikannya. Semakin besar angka yang kita peroleh dari rasa malu, maka kita menjadi cenderung autis. Namun jika angka yang kita peroleh semakin kecil, berarti kita (katakanlah) percaya diri.

Dan berbahagialah wahai psikiater yang bisa mengukur rasa malu, kalian akan sangat laku keras!



gambar: www.deviantart.com

No comments: